OLEH : ERIOSTHAFILLA (0910480057)
1. Pengertian
Harga keseimbangan atau harga pasar (Equilibrium Price) adalah tinggi rendahnya tingkat harga yang terjadi atas kesepakatan antara produsen / penawaran dengan konsumen atau permintaan di mana kuantitas yang diminta dan yang ditawarkan sama besarnya. Pada harga keseimbangan produsen/penawaran bersedia melepas barang/jasa, sedangkan permintaan/konsumen bersedia membayar harganya. Dalam kurva harga keseimbangan terjadi titik temu antara kurva permintaan dan kurva penawaran, yang disebut Equilibrium Price. Jika keseimbangan ini telah tercapai, biasanya titik keseimbangan ini akan bertahan lama dan menjadi patokan pihak pembeli dan pihak penjual dalam menentukan harga.
2. Proses terbentuknya Harga Pasar
Terbentuknya harga pasar dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran. Masing-masing faktor dapat menyebabkan bergesernya jumlah permintaan dan jumlah penawaran. Dengan bergesernya permintaan dan penawaran akan mengakibatkan bergesernya tingkat harga keseimbangan.
3. Pergeseran Titik Keseimbangan
Titik keseimbangan (Equilibrium Price) akan mengalami pergeseran akibat dari naik turunnya akibat perubahan penawaran/permintaan.
1. Pergeseran titik keseimbangan yang disebabkan bertambahnya jumlah permintaan.
2. Pergeseran titik keseimbangan yang disebabkan berkurangnya jumlah permintaan.
3. Pergeseran titik keseimbangan yang disebabkan bertambahnya jumlah penawaran.
4. Pergeseran titik keseimbangan yang disebabkan berkurangnya jumlah penawaran.
4. Pengaruh Pajak Terhadap Keseimbangan Pasar
Pengenaan pajak atau pemberian subsidi atas suatu barang yang diproduksi/dijual akan mempengaruhi keseimbangan pasar barang tersebut, mempengaruhi harga keseimbangan dan jumlah keseimbangan.
Pajak yang dikenakan atas penjualan suatu barang menyebabkan harga jual barang tersebut naik. Setelah dikenakan pajak, maka produsen akan mengalihkan sebagian beban pajak tersebut kepada konsumen, yaitu dengan menawarkan harga jual yang lebih tinggi. Akibatnya harga keseimbangan yang tercipta di pasar menjadi lebih tinggi daripada harga keseimbangan sebelum pajak, sedangkan jumlah keseimbangan menjadi lebih sedikit.
Pengenaan pajak sebesar t atas setiap unit barang yang dijual menyebabkan kurva penawaran bergeser ke atas, dengan penggal yang lebih besar (lebih tinggi) pada sumbu harga. Jika sebelum pajak persamaan penawarannya P = a + bQ, maka sesudah pajak ia akan menjadi P = a + bQ + t. Dengan kurva penawaran yang lebih tinggi (cateris paribus), titik keseimbangan akan bergeser menjadi lebih tinggi.
5. Pengaruh Subsidi terhadap Keseimbangan Pasar
Subsidi merupakan kebalikan atau lawan dari pajak, dan sering disebut pajak negatif. Pengaruh terhadap pajak juga berkebalikan dengan keseimbangan akibat pajak. Subsidi juga dapat bersifat spesifik dan juga proposional.
Pengaruh Subsidi yang diberikan atas produksi/penjualan barang menyebabkan harga jual barang tersebut menjadi lebih rendah. Dampaknya harga keseimbangan yang tercipta di pasar lebih rendah dari pada harga keseimbangan sebelum atau tanpa subsidi,dan jumlah keseimbangannya menjadi lebih banyak.
Dengan subsidi spesifik sebesar s kurva penawaran bergeser sejajar ke bawah, dengan penggal yang lebih rendah( lebih kecil ) pada sumbu harga. Jika sebelum subsidi persamaan penawaran P = a + bQ, maka sesudah subsidi akan menjadi P’ = a + b Q – s = ( a – s ) + b Q. Karena kurva penawaran lebih rendah, cateris paribus, maka titik keseimbangan akan menjadi lebih rendah.
6. Elastisitas Permintaan Dan Penawaran
Elastisitas harga permintaan merupakan ukuran kuantitatif yang menunjukkan sejauh mana bsarnya pengaruh perubahan harga terhadap jumlah yang diminta. Elastisitas penawaran merupakan ukuran kuantitatif yang menunjukkan sejauh mana besarnya pengaruh perubahan harga terhadap jumlah yang ditawarkan.
manfaat dari elastitistas permintaan adalah sebagai berikut :
* Sebagai landasan dalam menyusun penjualan suatu perusaahaan apabila diketahui sifat responsif permintaan terhadap produksi (penawaran) perusahaan maka perusahaan dapat menentukan apakah untuk menaikkan hasil penjualannya perlu menaikkan produksi atau tidak.
* sebagai alat pemerintah untuk meramalkan kesuksesan dari kebijakan ekonomi tertentu yang akan dilaksanakan. Misalnya, untuk mengurangi impor suatu jenis barang pemerintah perlu mengatahui pengaruh terhadap permintaan barang impor tersebut akibat dari kebijakan yang mempengaruhi tingkat harga barang impor.
Adapun Rumus elastisitas adalah sebagai berikut :
E =
Rumus diatas berlaku untuk menghitung elastisitas permintan dan juga elastisitas penawaran. pada elastisitas penerimaan disimbolkan dengan (Ed), karena nilai elastisitas permintaan selalu negatif maka nilai E harus di absolutkan. pada elastisitas penawaran disimbolkan dengan (Es).
Penaksiran terhadap koefisien elastisitas (E) baik elastisitas permintaan ataupun elastisitas penawaran adalah sebagai berikut :
1. Permintaan atau Penawaran dikatakan Elastis, Jika nilai E > 1
2. Permintaan atau Penawaran dikatakan Inelastis, Jika nilai E < 1
3. Permintaan atau Penawaran dikatakan Elastis Uniter, Jika nilai E = 1
4. Permintaan atau penawaran dikatakan Elastistias Sempurna, Jika nilai E = ~ (tak hingga)
5. Permintaan atau penawaran dikatakan Inelastis Sempurna, Jika nilai nilai E = 0
Hal Yang Mempengaruhi Elastisitas Penawaran
Faktor-faktor yang mempengaruhi elastisitas penawaran adalah waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan produksi dengan perubahan permintaan masyarakat, dan biaya produksi kalau produksi diperbesar atau diperkecil. Misalnya, seorang petani yang membawa basil kebunnya ke pasar untuk dijual (sayuran, buah-buahan, bunga). Penawarannya akan inelastis. Kalau harga di pasar lebih tinggi daripada yang diharapkannya, ia tidak segera akan dapat menawarkan lebih banyak karna harus menunggu musim berikut. Dan kalau harga lebih rendah daripada yang diharapkan, ia tetap akan menjual seluruh persediaannya karna barang-barang ini tidak dapat disimpan lama. Umumnya penawaran hasil-hasil pertanian bersifat inelastis.
Waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan jumlah yang ditawarkan (Qs) dengan perubahan harga dapat dibedakan:
§ Jangka waktu sangat pendek
Dalam waktu satu/beberapa hari saja semua input tetap. Oleh karena itu, para produsen/penjual tidak dapat segera menambah jumlah yang ditawarkan, meskipun konsumen bersedia membayar harga yang tinggi. Jumlah barang yang ditawarkan tergantung dari banyaknya persediaan yang ada pada saat itu. Maka, dalam jangka waktu sangat pendek penawaran bersifat inelastis.
§ Jangka pendek
Diartikan jangka waktu yang cukup untuk memungkinkan para produsen menambah jumlah produksinya dengan jalan menambah input variabel (dengan bekerja lebih keras/lama, mempergunakan lebih banyak bahan, dsb.), tetapi tidak cukup lama untuk memperbesar kapasitas produksi yang ada (areal pertanian, modal tetap seperti bangunan pabrik, mesin-mesin, dll).
§ Jangka panjang
Diartikan jangka waktu yang cukup lama hingga para produsen dapat menambah kapasitas produksi dengan menambah modal tetap (pabrik baru, mesin-mesin, perluasan areal pertanian, dsb) untuk menyesuaikan produksi dengan permintaan masyarakat. Makin lama jangka waktu, makin elastis penawaran. Dalam jangka panjang, perkembangan teknik produksi di sektor industri dan produksi secara besar-besaran malah dapat menyebabkan harga turun, sehingga barang¬barang yang dulu dipandang barang mewah dan mahal menjadi barang kebutuhan biaya yang terbeli juga oleh orang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2011. http://blog.student.uny.ac.id/ayunitasari/2010/12/08/permintaan-penawaran-harga-.keseimbangan/. Diunduh tanggal 19 Juni 2011
Anonymous, 2011. http://artikelekonomi.com/hal-yang-mempengaruhi-elastisitas-penawaran.html. Diunduh tanggal 19 juni 2011
Anonymous, 2011. http://trainnerone.blogspot.com/2009/08/harga-keseimbangan-pasar.html. Diunduh tanggal 19 juni 2011
Monday, June 20, 2011
Sunday, June 19, 2011
BOGASARI MERUPAKAN PASAR MONOPOLI
OLEH : ESTI YULIASTRI (0910480059)
Latar belakang
Bogasari Fours Mill merupakan produsen tepung terigu di Indonesia dengan kapasitas produksi sebesar 3,6 juta ton per tahun, terbesar di dunia dalam satu lokasi. Bogasari dimulai pada tanggal 29 November 1971 dengan peresmian pabrik yang pertama di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setahun kemudian, pada tanggal 10 Juli 1972, pabrik yang kedua di Tanjung Perak Surabaya dioperasikan.
Pada tahun 1998 terjadi deregulasi tata niaga, yaitu perubahan tata niaga akibat krisis moneter. Sehingga yang awalnya mulai dari pembelian bahan baku tepung, yaitu gandum yang diimport dari Amerika dan pendistribusian tepung jadi dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (BULOG) diserahkan ke perusahaan masing-masing karena pemerintah tidak sanggup membiayai, sehingga perusahaan Bogasari Flour Mills menjadi industri yang murni bukan hanya sebagai tukang giling.
Pada tahun 2001 dikeluarkan undang-undang anti monopoli oleh pemerintah, yang menyatakan bahwa pangsa pasar untuk suatu merek tertentu maksimum 60%. Dengan adanya undang-undang tersebut Bogasari Flour Mills menyusun strategi berikut: pabrik Bogasari Flour Mills di Jakarta menangani pasar untuk Indonesia bagian Barat dan pabrik Bogasari Flour Mills di Surabaya menangani pasar untuk Indonesia bagian Timur. Selain itu untuk merek yang lama tetap dipakai oleh pabrik di Jakarta sedangkan pabrik di Surabaya harus menyusun merek baru.
Telah diketahui bahwa persaingan antar produk sangatlah banyak sehingga perusahaan harus mewaspadainya. Meskipun Bogasari Flour Mills sendiri telah dapat dikatakan sebagai penguasa pasar tepung namun juga tidak dapat meremehkan adanya pesaing yang dapat merebut pangsa pasar Bogasari Flour Mills. Apalagi dengan keadaaan perusahaan Bogasari Flour Mills di Surabaya, yang menggunakan merek baru sejak kurang lebih tahun 2001, yaittu merek “Kereta Kencana”. Padahal pemasaran dewasa ini bukan lagi merupakan pertempuran produk, namun sudah merupakan pertempuran persepsi konsumen.
Selama tiga dekade, Bogasari telah melayani kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dengan tiga merk tepung terigunya yang telah dikenal luas oleh masyarakat yaitu Cakra Kembar, Kunci Biru, dan Segitiga Biru. Ketiga jenis produk ini digunakan secara luas oleh industri mie, roti dan biskuit (baik yang berskala besar maupun kecil serta rumah tangga).
Berdasarkan data Penguasaha Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), struktur perusahaan importir penguasa tepung terigu nasional antara lain Bogasari sebesar 57 %, Eastern Peral 10,3 %, Sriboga 5,5 %, Pangan Mas 3,2 %, Pundi Kencana 0,4 %, perusahaan lain-lain 7,8 %, dan pangsa pasar impor sebesar 15,5 %.
Di sisi lain, selama ini profil industri pengguna tepung terigu terbesar di Indonesia adalah sektor usaha kecil dan menengah (UKM) sebanyak 30,263 unit dengan volume konsumsi sekitar 59,6 %, diikuti industri rumah tangga (10.000 unit) dengan volume 4 %, industri besar pengguna tepung terigu (200 unit) dengan volume 31,8 % dan rumah tangga dengan volume 4,6 %.
Kekuatan monopoli sangatlah mungkin mengatur pasar guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal inilah yang berpotensi merugikan konsumen. Munculnya kekuatan monopoli juga menyebabkan sektor mikro akan sangat sulit untuk bersaing. Khusus mengenai pasar terigu nasional, Bogasari adalah pemain dominan karena merupakan pemain utama yang menguasai hampir 80 % pangsa pasar, dan tentu saja posisi dominan tersebut sangat mungkin untuk disalahgunakan.
Namun, pada tahun 1994 dominasi Bogasari atas pasar tepung terigu di Indonesia terus menurun dari 90,08% pada tahun 1994 menjadi 57% pada 2008, menyusul munculnya industri tepung terigu baru dalam negeri. Data tersebut diperoleh dari hasil perhitungan nilai total output dan nilai impor.
Liberalisasi perdagangan telah menurunkan tingkat konsentrasi pasar pasar industri tepung terigu secara cukup signifikan. Kebijakan deregulasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan gandum maupun tepung terigu pada 1998 mengubah struktur industri tepung terigu dari monopoli menjadi oligopoli asimetris dengan perusahaan dominan. Bogasari dikelilingi para pesaing kecil yang dalam teori oligopoli disebut “fringe competitors”.
Secara teori, pada industri oligopolistik asmetris, perusahaan dominan cenderung menjadi penentu harga dan para pesaing kecil menjadi pengikut. Kondisi inilah yang membuat pesaing kecil sukar bertahan di industri tersebut, sebaliknya jika perusahaan dominan menerapkan harga lebih tinggi, akan menghadapi “the prospect of entry”, dan beralih ke para pesaing kecil.
Selain itu, jika pemerintah tidak menetapkan biaya antidumping (BMAD), Bogasari sebagai pemimpin pasar akan mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama. Namun industri tepung terigu (yang lebih kecil) akan sulit untuk bertahan. Pada gilirannya nanti, sangatlah mungkin struktur industri tepung terigu akan kembali menjadi monopoli. Di industri tersebut, pemain menjadi hanya dua yaitu Bogasari dan importir.
Bahan Baku
Biji gandum adalah bahan baku utama di dalam industri pengolahan tepung terigu. Bahan baku gandum seluruhnya di ekspor dari luar negeri.
Sedangkan untuk menjamin kelangsungan persediaan gandum, Divisi Maritim Bogasari mengoperasikan tiga kapal angkut gandum dan tiga buah kapal tongkang untuk pelayaran antar pulau.
Selain fasilitas penggilingan gandum (milling facilities) yang canggih, Bogasari juga memiliki berbagai fasilitas penunjang teknis baik untuk kepentingan sendiri maupun umum, antara lain laboratorium, dermaga, Milling Training Center dan Baking Training Center. Laboratorium yang ada dilengkapi dengan peralatan modern dengan tujuan untuk melakukan uji-analisis terhadap kualitas gandum dan tepung, serta meneliti kemungkinan pengembangan produk baru.
Proses Pengolahan
Dimulai dari penyediaan bahan yang masih berupa gandum kemudian diproses melalui proses pembersihan gandum, Wheat Conditioning, Mesin Roll, Sifter, Purifier, Vibro Finisher, Bran Finisher.
Distribusi
Sejak awal berdirinya pada tahun 1971 hingga pertengahan tahun 1998, Tata Niaga yang berlaku menetapkan Bogasari hanya menjadi Flour Miller (tukang giling) yang hanya menerima order giling dari pemerintah Bulog. Dalam tata niaga tersebut mekanisme pengadaan bahan baku gandum dan penyaluran terigunya dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah.
Pada bulan Juni 1998, tata niaga terigu secara efektif berakhir, dan semenjak itu seluruh perusahaan terigu nasional termasuk Bogasari berubah menjadi produsen terigu (Flour Producer) yang mengatur sendiri pengadaan bahan baku, memproduksi sendiri merek dan jenis terigu yang diinginkan, serta mendistribusikannya ke pengecer lalu dijual ke konsumen.
Latar belakang
Bogasari Fours Mill merupakan produsen tepung terigu di Indonesia dengan kapasitas produksi sebesar 3,6 juta ton per tahun, terbesar di dunia dalam satu lokasi. Bogasari dimulai pada tanggal 29 November 1971 dengan peresmian pabrik yang pertama di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setahun kemudian, pada tanggal 10 Juli 1972, pabrik yang kedua di Tanjung Perak Surabaya dioperasikan.
Pada tahun 1998 terjadi deregulasi tata niaga, yaitu perubahan tata niaga akibat krisis moneter. Sehingga yang awalnya mulai dari pembelian bahan baku tepung, yaitu gandum yang diimport dari Amerika dan pendistribusian tepung jadi dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (BULOG) diserahkan ke perusahaan masing-masing karena pemerintah tidak sanggup membiayai, sehingga perusahaan Bogasari Flour Mills menjadi industri yang murni bukan hanya sebagai tukang giling.
Pada tahun 2001 dikeluarkan undang-undang anti monopoli oleh pemerintah, yang menyatakan bahwa pangsa pasar untuk suatu merek tertentu maksimum 60%. Dengan adanya undang-undang tersebut Bogasari Flour Mills menyusun strategi berikut: pabrik Bogasari Flour Mills di Jakarta menangani pasar untuk Indonesia bagian Barat dan pabrik Bogasari Flour Mills di Surabaya menangani pasar untuk Indonesia bagian Timur. Selain itu untuk merek yang lama tetap dipakai oleh pabrik di Jakarta sedangkan pabrik di Surabaya harus menyusun merek baru.
Telah diketahui bahwa persaingan antar produk sangatlah banyak sehingga perusahaan harus mewaspadainya. Meskipun Bogasari Flour Mills sendiri telah dapat dikatakan sebagai penguasa pasar tepung namun juga tidak dapat meremehkan adanya pesaing yang dapat merebut pangsa pasar Bogasari Flour Mills. Apalagi dengan keadaaan perusahaan Bogasari Flour Mills di Surabaya, yang menggunakan merek baru sejak kurang lebih tahun 2001, yaittu merek “Kereta Kencana”. Padahal pemasaran dewasa ini bukan lagi merupakan pertempuran produk, namun sudah merupakan pertempuran persepsi konsumen.
Selama tiga dekade, Bogasari telah melayani kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dengan tiga merk tepung terigunya yang telah dikenal luas oleh masyarakat yaitu Cakra Kembar, Kunci Biru, dan Segitiga Biru. Ketiga jenis produk ini digunakan secara luas oleh industri mie, roti dan biskuit (baik yang berskala besar maupun kecil serta rumah tangga).
Berdasarkan data Penguasaha Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), struktur perusahaan importir penguasa tepung terigu nasional antara lain Bogasari sebesar 57 %, Eastern Peral 10,3 %, Sriboga 5,5 %, Pangan Mas 3,2 %, Pundi Kencana 0,4 %, perusahaan lain-lain 7,8 %, dan pangsa pasar impor sebesar 15,5 %.
Di sisi lain, selama ini profil industri pengguna tepung terigu terbesar di Indonesia adalah sektor usaha kecil dan menengah (UKM) sebanyak 30,263 unit dengan volume konsumsi sekitar 59,6 %, diikuti industri rumah tangga (10.000 unit) dengan volume 4 %, industri besar pengguna tepung terigu (200 unit) dengan volume 31,8 % dan rumah tangga dengan volume 4,6 %.
Kekuatan monopoli sangatlah mungkin mengatur pasar guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal inilah yang berpotensi merugikan konsumen. Munculnya kekuatan monopoli juga menyebabkan sektor mikro akan sangat sulit untuk bersaing. Khusus mengenai pasar terigu nasional, Bogasari adalah pemain dominan karena merupakan pemain utama yang menguasai hampir 80 % pangsa pasar, dan tentu saja posisi dominan tersebut sangat mungkin untuk disalahgunakan.
Namun, pada tahun 1994 dominasi Bogasari atas pasar tepung terigu di Indonesia terus menurun dari 90,08% pada tahun 1994 menjadi 57% pada 2008, menyusul munculnya industri tepung terigu baru dalam negeri. Data tersebut diperoleh dari hasil perhitungan nilai total output dan nilai impor.
Liberalisasi perdagangan telah menurunkan tingkat konsentrasi pasar pasar industri tepung terigu secara cukup signifikan. Kebijakan deregulasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan gandum maupun tepung terigu pada 1998 mengubah struktur industri tepung terigu dari monopoli menjadi oligopoli asimetris dengan perusahaan dominan. Bogasari dikelilingi para pesaing kecil yang dalam teori oligopoli disebut “fringe competitors”.
Secara teori, pada industri oligopolistik asmetris, perusahaan dominan cenderung menjadi penentu harga dan para pesaing kecil menjadi pengikut. Kondisi inilah yang membuat pesaing kecil sukar bertahan di industri tersebut, sebaliknya jika perusahaan dominan menerapkan harga lebih tinggi, akan menghadapi “the prospect of entry”, dan beralih ke para pesaing kecil.
Selain itu, jika pemerintah tidak menetapkan biaya antidumping (BMAD), Bogasari sebagai pemimpin pasar akan mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama. Namun industri tepung terigu (yang lebih kecil) akan sulit untuk bertahan. Pada gilirannya nanti, sangatlah mungkin struktur industri tepung terigu akan kembali menjadi monopoli. Di industri tersebut, pemain menjadi hanya dua yaitu Bogasari dan importir.
Bahan Baku
Biji gandum adalah bahan baku utama di dalam industri pengolahan tepung terigu. Bahan baku gandum seluruhnya di ekspor dari luar negeri.
Sedangkan untuk menjamin kelangsungan persediaan gandum, Divisi Maritim Bogasari mengoperasikan tiga kapal angkut gandum dan tiga buah kapal tongkang untuk pelayaran antar pulau.
Selain fasilitas penggilingan gandum (milling facilities) yang canggih, Bogasari juga memiliki berbagai fasilitas penunjang teknis baik untuk kepentingan sendiri maupun umum, antara lain laboratorium, dermaga, Milling Training Center dan Baking Training Center. Laboratorium yang ada dilengkapi dengan peralatan modern dengan tujuan untuk melakukan uji-analisis terhadap kualitas gandum dan tepung, serta meneliti kemungkinan pengembangan produk baru.
Proses Pengolahan
Dimulai dari penyediaan bahan yang masih berupa gandum kemudian diproses melalui proses pembersihan gandum, Wheat Conditioning, Mesin Roll, Sifter, Purifier, Vibro Finisher, Bran Finisher.
Distribusi
Sejak awal berdirinya pada tahun 1971 hingga pertengahan tahun 1998, Tata Niaga yang berlaku menetapkan Bogasari hanya menjadi Flour Miller (tukang giling) yang hanya menerima order giling dari pemerintah Bulog. Dalam tata niaga tersebut mekanisme pengadaan bahan baku gandum dan penyaluran terigunya dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah.
Pada bulan Juni 1998, tata niaga terigu secara efektif berakhir, dan semenjak itu seluruh perusahaan terigu nasional termasuk Bogasari berubah menjadi produsen terigu (Flour Producer) yang mengatur sendiri pengadaan bahan baku, memproduksi sendiri merek dan jenis terigu yang diinginkan, serta mendistribusikannya ke pengecer lalu dijual ke konsumen.
DINAMIKA IMPOR GULA INDONESIA: SEBUAH ANALISIS KEBIJAKAN
OLEH : EKO SUSANTO (0910480053)
Ringkasan
Setelah menjadi salah satu negara eksporter terbesar di dunia tahun 1930-an, Indonesia kini Menjadi salah satu Negara pengimpor gula terbesar di dunia. Jika kecendrungan ini tidak dapat dicegah, keberadaan industri gula sebagai salah satu industri strategis di Indonesia, akan dalam tekanan. Di samping disebabkan oleh distorsi di pasar internasional, kebijakan pemerintah Indonesia dinilai mempunyai konstribusi terhadap kondisi tersebut. Sejalan dengan isu ini, maka tulisan ini akan membahas dinamika impor gula Indonesia dikaitkan dengan kebijakan pergulaan nasional. Hasil diskusi menunjukkan bahwa kebijakan gula di pasar internasional adalah sangat distortif.
Dinamika impor gula Indonesia dapat dikaitkan dengan tiga regim kebijakan. Pertama, regim kebijakan stabilitas (1971-1996) yang membuat industri gula stabil dan berkembang dan volume import relatif kecil dan fluktuatif. Kedua regim perdagangan bebas (1997- 2001) yang membuat penurunan kinerja industri gula dan lonjakan volume impor. Ketiga, regim kebijakan terkendali (2002-sekarang) yang mampu membuat industri gula mengalami proses pemulihan dan impor menurun. Berdasarkan diskusi tersebut, tiga alternatif kebijakan impor, yaitu mempertahankan kebijakan yang diterapkan sekarang, tarif impor 50%, dan tariff-rate quota, diajukan sebagai alternatif kebijakan impor.
PENDAHULUAN
Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al., 1999; Tjokrodirdjo, et al., 1999; Sudana et al., 2000).
Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 60 pabrik gula (PG) yang aktif yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17 PG yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula Indonesia, 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada tahun 1999 adalah sekitar 341057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Pada dekade terakhir, khususnya periode periode 1994-2004, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat, dari 194,700 ton pada tahun 1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan laju 11.4 % per tahun. Pada periode 1994- 2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 % per tahun. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan 1.2 % per tahun produksi gula dalam negeri menurun dengan laju –1.8 per tahun.
Penurunan produksi bersumber dari penurunan areal dan penurunan produktivitas seperti penurunan rendemen dari 10% pada tahun 1970-an menjadi rata-rata hanya 6.92% pada tahun 1990-an (Dewan Gula Indonesia, 1999). Harga gula di pasar internasional ang terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1999 juga menjadi penyebab kemunduran industri gula Indonesia. Penurunan harga gula ini terutama disebabkan oleh kebijakan hampir semua negara produsen utama dan konsumen utama melakukan intervensi yang kuat terhadap industri dan perdagangan gula. Sebagai contoh, hampir semua negara menerapkan tarif impor lebih dari 50%. Di samping itu, kebijakan dukungan harga (price support) dan subsidi ekspor masih dilakukan oleh negara besar seperti Eropa Barat dan Amerika. Hal ini menempatkan pasar gula merupakan pasar dengan tingkat distorsi tertinggi kedua setelah beras (Noble, 1997; Kennedy, 2001; Groombridge, 2001).
Membiarkan impor terus meningkat berarti membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran yang akan menimbulkan masalah bagi Indonesia. Pertama,industri gula melibatkan sekitar 1.4 juta petani dan tenaga kerja (Bakrie dan Susmiadi, 1999). Kedua, kebangkrutan industri gula juga berkaitan dengan aset yang sangat besar dengan nilai sekitar Rp 50 triliun . Ketiga, gula merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap inflasi, sesuatu yang mengkhawatirkan pelaku bisnis, masyarakat umum, dan pemerintah. Lebih jauh, membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48% akan berpengaruh negatif terhadap upaya pencapaian ketahanan pangan (Pakpahan, 2000; Simatupang et al. 2000). Selanjutnya, beban devisa untuk mengimpor akan terus meningkat yang pada lima tahun terakhir rata-rata devisa yang dikeluarkan sudah mencapai US$ 200 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000).
Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai kebjiakan dinamika impor gula Indonesia dikaitkan dengan kebijakan, baik itu kebijakan pergulaan nasional maupun perdagangan di pasar internasional serta alternatif kebijakan yang berkaitan dengan impor gula Indonesia. Untuk itu, maka organisasi tulisan akan disusun sebagai berikut. Setelah Pendahuluan, terlebih dahulu akan dibahas kebijakan perdagangan dan industri pergulaan di pasar internasonal. Selanjutnya bahasan akan difokuskan pada dinamika impor gula Indonesia yang diikuti dengan pembahasan kebijakan pergulaan domestik. Selanjutnya, bahasan akan ditekankan pada alternative kebijakan impor yang memberikan medan persaingan yang adil (fair) bagi industri gula nasional. Selanjutnya, tulisan diakhiri dengan beberapa catatan penutup.
KEBIJAKAN PERGULAAN DI PASAR INTERNASIONAL
Liberalisasi perdagangan yang antara lain tertuang dalam berbagai komitmen pada Putaran Uruguay (PU) dari GATT ternyata tidak banyak berpengaruh pada tingkat distorsi pada perdagangan dan industri gula (Devadoss dan Kropf, 1996; Noble, 1997; Groombridge 2000; Kennedy 2001; LMC, 2003; FAO, 2003). Dengan perkataan lain, industri dan perdagangan gula pada masa mendatang masih akan tetap distortif, tidak banyak tersentuh oleh komitmen liberalisasi perdagangan.
Liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan disahkannya hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) sebagai rangkaian dari General Agreement on Tarif And Trade (GATT) pada tanggal 15 Desember 1993, sebenarnya memberi peluang yang besar untuk mengurangi distorsi perdagangan dan industri pada sektor pertanian, termasuk untuk gula. Salah satu kekhususan putaran ini adalah dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda perundingan. Dengan perkataan lain, keberhasilan Putaran Uruguay (PU) menyebabkan pemberlakuan sektor pertanian sama dengan sektor lainnya atau sektor pertanian tidak lagi diperlakukan secara eksklusif dalam kerangka GATT (Departemen Perdagangan, 1994).
Amerika Serikat secara historis menggunakan berbagai kebijakan untuk mendukung/melindungi industri gulanya. Kebijakan tersebut menyebabkan sekitar 67% dari pendapatan produsen gula di US merupakan komponen dari kebijakan harga subsidi atau price support. Landasan hukum terbaru yang digunakan US untuk mendukung kebijakan tersebut adalah Farm Security and Rural Investment Act of 2002 (2002 Farm Act). Beberapa kebijakan penting yang diterapkan adalah kebijakan bantuan domestic (price support loan), tariff-rate quota, subsidi ekpsor (export subsidy), program re-ekspor (re-export programs), dan kebijakan pembayaran dalam bentuk natura atau payment-inkind. Sebagai contoh, kebijakan tariff-rate quota (TRQ) merupakan suatu kebijakan pengendalian harga domestik dengan instrumen pengendalian impor. Kebijakan TRQ merupakan kebijakan yang sanga efektif untuk mengendalikan harga di dalam negeri karena TRQ merupakan kombinasi antara tarif dan kuota. Kebijakan ini masih diijinkan digunakan dalam kerangka liberalisasi perdagangan. Akibat kebijakan TRQ dan kebijakan lainnya, harga gula di pasar domestik US jauh di atas harga gula dunia. Untuk gula mentah, perbedaan antara harga di pasar internasional dan US rata-rata adalah sekitar US$c 12/lb atau 126%. Sedangkan untuk gula putih, perbedaan mencapai sekitar US$c 13/lb atau sekitar 104% (USDA 2003).
Biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan kebijakan-kebijakan tersebut tidaklah murah. Sebagai contoh, pada tahun 1998 biaya intervensi mencapai US$ 1.9 miliar. Pemerintah harus menyiapkan dana sekitar US$ 1.68 miliar per tahun untuk pembelian gula. Kesejahteraan yang hilang (welfare loss) sebagai akibat kebijakan tersebut diperkirakan mencapai sekitar US$ 1 miliar per tahun (Kennedy, 2001).
Eropa Barat (EC) dikenal sebagai kelompok negara yang tingkat distorsinya paling tinggi. Intervensi yang tinggi tersebut dilakukan hampir pada semua aspek industri dan perdagangan gula. Untuk melindungi tekanan dari pasar internasional, tingkat tarif impor yang tinggi merupakan salah satu instrumen kebijakan yang digunakan. Sebelum Putaran Uruguay ditandatangani, instrumen tariff impor berupa kebijakan variable levies. Dengan perkataan lain, mereka dapat menaikkan tarif impor jika harga gula di pasar internasional turun secara signifikan. Setelah PU ditandatangani, EC menerapkan binding tariff yang relatif masih tinggi yaitu 146% dengan pendekatan fixed tariff.
Kebijakan yang paling distortif yang diterapkan oleh EC identik dengan yang dilakukan di Amerika yaitu subsidi input/kredit dan jaminan harga yang termasuk kelompok bantuan domestik. Kebijakan ini diimplementasikan dengan membagi produksi menjadi tiga kategori yaitu quota A, B, dan C. Untuk quota A yang di pasarkan di pasar domestik, petani menerima harga sesuai dengan harga intervensi (harga subsidi). Untuk quota B, produsen juga menerima harga subsidi, namun dikurangi pajak yang lebih tinggi yaitu 39.5% dibandingkan quota A yang pajaknya 2%. Produksi di atas quota A dan B, produsen menerima harga sesuai dengan harga di pasar internasional .Kebijakan subsidi harga diperkirakan mencapai sekitar 41% dari pendapatan petani. Di sisi lain, konsumen menerima beban sekitar US$ 3.8 miliar per tahun sebagai akibat harga gula domestic yang tinggi (Noble 1997).
India yang dari aspek ekonomi dan demografi memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia melakukan intervensi yang cukup intensif terhadap industri gulanya. Salah satu landasan hukum kebijakan pergulaan di India adalah dimasukannya gula pada Essential Commodities Acts of 1955. Dengan demikian, berbagai kebijakan pergulaan di India mempunyai landasan hukum yang cukup memadai. Kebijakan pergulan di India pada dasarnya ditekankan pada aspek produksi – harga dan distribusi – harga. Kebijakan produksi-harga yang diterapkan di India pada dasarnya mengacu pada konsep harga dasar. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah dengan berbagai lembaga pendukungnya menentukan semacam harga dasar gula untuk PG yang menjadi landasan untuk menentukan harga tebu petani (Pursell dan Gupta, 1997).
DINAMIKA IMPOR GULA DAN KEBIJAKAN PERGULAAN NASIONAL
Meningkatnya Impor
Pada tahun 1930-an, Indonesia pernah menjadi salah satu eksportir gula terbesar di dunia. Kini Indonesia merupakan salah satu importir terbesar (no. 4) di dunia dengan pangsa impor pada sekitar 3,5% dari impor gula dunia. Pada tahun 1994, impor gula Indonesia baru mencapai 4400 ton dan meningkat menjadi sekitar 1.34 juta ton pada tahun 2004 atau meningkat lebih dari 300 kali lipat (Gambar 1). Untuk tahun 2004, sekitar 0.450 juta ton adalah impor untuk gula konsumsi oleh masyarakat, sedangkan sekitar 0.900 ribu juta ton adalah untuk konsumsi gula industri, seperti industri makanan dan minuman.
Penurunan Produksi
Penurunan produksi secara garis besar disebasbkan oleh tiga faktor utama yaitu:
• Penurunan areal dan peningkatan proporsi areal tebu tegalan;
• Penurunan produktivitas lahan;
• Penurunan efisiensi di tingkat pabrik.
Jika dilihat pada sepuluh tahun terakhir, luas areal tebu Indonesia secara umum mengalami penurunan sekitar 2% per tahun dengan luas areal tertinggi dicapai tahun 1996 dengan luasan 446 ribu ha, walaupun pada tahun 2004 mulai menunjukkan peningkatan. Di samping itu, areal tebu sawah cenderung menurun dan areal tebu tegalan cendrung meningkat. Bias kebijakan pemerintah ke usahatani padi, harga gula yang terus menurun karena distrosi kebijakan gula di pasar internasional, serta konversi lahan untuk industri perumahan dan industri (23.000 ha/tahun) merupakan beberapa faktor penyebab penurunan areal tebu (Woeryanto, 2000; Husodo, 2000; Murdiyatmo, 2000; Pakpahan, 2000 Sumaryanto et al., 1995).
Di samping penurunan areal, penurunan produktivitas merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Jika pada tahun 1990-an produktivitas tebu/ha rata-rata mencapai 76.9/ha, maka pada tahun 2000-an hanya mencapai sekitar 62.7 ton/ha. Rendemen sebagai salah indikator produktivitas juga mengalami penurunan dengan laju sekitar –1.3% per tahun pada dekade terakhir. Pada tahun 1998, rendemen mencapai titik terendah (5.49%). Selanjutnya, rendemen mulai meningkat dan pada tahun 2004 rendemen mencapai 7.67 % (Hadi dan Sutrisno, 2001). Seperti terlihat pada Gambar 2., produktivitas rendah yang berpangkal dari belum optimalnya sistem budidaya yang digunakan yang disebabkan oleh (i) kualitas bahan tanam yang kurang; (ii) sistem bagi hasil antara petani dan PG; (iii) harga yang rendah khususnya pada dekade terakhir; dan (iv) kebijakan pemerintah yang kurang mendukung.
Masalah kedua adalah bahwa kebanyakan petani tidak melakukan peremajaan secara berkala sehingga tanaman mereka umumnya tanaman keprasan, bahkan keprasan tiga atau lebih. Dengan demikian, potensi produktivitas hanya mencapai sekitar 67%- 85% dari tanaman pertama atau PC (Marjayanti dan Arsana, 1999). Berdasarkan data dari beberapa sumber, Marjayanti dan Arsana 1999) memperkirakan tanaman keprasan di Jawa lebih dari 50%.
Masih adanya masalah yang berkaitan dengan sistem bagi hasil antara PG dengan petani juga tidak mendukung upaya peningkatan produktivitas. Sistem yang berlaku sekarang yaitu 65% dari total produksi adalah gula bagian petani dan 35% adalah bagian PG sebagai upah pengolahan masih sering menimbulkan perdebatan. Bagi petani, bagian mereka seyogyanya bisa lebih tinggi bila proses pengolahan di PG berjalan efisien dan kapasitas giling cukup memadai (Husodo 2000).
Harga gula yang rendah dan fluktuatif seperti diuraikan sebelumnya juga menurunkan produktivitas tebu, khususnya tebu rakyat. Walaupun respon produktivitas terhadap harga inelastis, menurunnya harga gula akan menyebabkan penurunan produktivitas (Susila dan Susmiadi, 2000; Abidin, 2000). Harga yang rendah menyebabkan petani tidak optimal dalam menerapkan teknis budidaya, khususnya yang memerlukan uang kas, sehingga akan berdampak negatif terhadap produktivitas (Murdiyatmo, 2000; Woeryanto, 2000; Adisasmito, 1998).
Kebijakan pemerintah yang bias ke usahatani padi, pencabutan subsidi pupuk, dan sering terjadi kesulitan dalam mengimplementasikan jaminan harga (harga provenue) juga berdampak negatif terhadap produktivitas tebu. Pencabutan subsidi yang membuat biaya produksi meningkat dan tidak adanya jaminan harga akan menyebabkan penerapan teknik budidaya menjadi tidak optimal sehingga menurunkan produksitivias (Soentoro et al.,1999; Mardiyatmo 2000; Susila dan Susmiadi, 2000).
Kontribusi penurunan rendemen sebagai akibat inefisiensi di tingkat PG, yang dapat mencapai 30%, dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi pabrik gula, terutama yang ada di Jawa, umumnya sudah tua, sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal (Woeryanto, 2000; Murdiyatmo, 2000; Husodo 2000;). Faktor kedua adalah keterbatasan ketersediaan jumlah bahan baku sehingga pabrik beroperasi di bawah kapasitas optimal. Penurunan areal tebu menyebabkan ketersediaan bahan baku semakin terbatas sehingga PG sering mengalami kesulitan untuk mencapai kapasitas minimum. Dalam sepuluh tahun terakhir, dari 59 pabrik gula di Jawa, 17 perusahaan memiliki total hari penggilingan di bawah standar nasional yaitu 150 hari giling per tahun. Dengan kriteria minimum kapasitas giling 2000 ton tebu per hari, sebanyak 28 pabrik tidak memenuhi tandar tersebut (Arifin, 2000).
Peningkatan Konsumsi
Ketika produksi terus mengalami penurunan, konsumsi domestik baik oleh rumah tangga maupu indistri terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1984, konsumsi gula domestik baru mencapai 1.866 juta ton. Pada tahun 2004, konsumsi melonjak menjadi 3.4 juta ton atau mengalami peningkatan sekitar 0.5% per tahun. Peningkatan konsumsi terutama berkaitan dengan dua faktor yaitu pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan atau pertumbuhan ekonomi. Studi oleh Susila (2005) menyebutkan bahwa karena gula masih merupakan kebutuhan pokok, maka respon konsumsi terhadap perubahan harga gula dan PDB adalah inelastis, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai contoh, elastisitas jangka panjang terhadap perubahan harga eceran dan PDB masing-masing adalah –0.18 dan 0.11. Namun demikian, konsumsi gula elastis terhadap perubahan jumlah penduduk, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Regim Pengendalian Impor
Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah diambang kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani) semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar. Era ini merupakan era dimulainya regim pengendalian impor. Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkat harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen.
Kebijakan tataniaga gula tersebut dinilai masih memiliki beberapa kelemahan seperti belum jelas spesifikasi mutu gula, waktu impor, dan jaminan harga untuk petani. Untuk itu, pemerintah menyempurnakan kebijakan tersebut dengan Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/M-DAG/Per/4/2005. Esensi kebijakan adalah ketentuan ICUMSA yang secara nyata membedakan gula kristal putih, gula rafinasi, dan raw sugar; kejelasan waktu dan pelabuhan impor, serta kenaikan harga referensi di tingkat petanui menjadi Rp 3800/kg. Jika kebijakan ini diikuti oleh perbaikan efisiensi di tingkat usahatani dan PG, kebijakan ini diperkirakan akan efektif untuk mendorong perkembangan industri gula nasional.
Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan kembali industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga gula di pasar internasional juga turut menolong industri gula nasional. Dari sisi areal, dampaknya mulai tampak dan pada tahun 2005 areal diperkirakan mulai meningkat secara signifikan. Produksi mulai meningkat dan mulai tahun 2004 produksi sudah kembali diatas 2 juta ton. Sebagai akibatnya, impor mulai menurun datri sekitar 1.5 juta ton menjadi sekitar 1.3 juta ton. Jika kebijakan-kebijakan ini dipertahankan dan didukung oleh program revitalisasi pembangunan industri gula nasional, Indonesia dapat berharap mencapai swasembada gula pada tahun 2010 (proporsi impor adalah sekitar 90% dari konsumsi nasional). Paling tidak, kebijakan-kebijakan tersebut akan memberi landasan yang memadai untuk kebangkitan industri gula nasional.
PILIHAN KEBIJAKAN IMPOR GULA INDONESIA
Dengan memperhatikan distorsi pasar internasional yang demikian tinggi, maka kebijakan impor gula Indonesia seyogyanya dilandasi pemikiran untuk memberikan medan persaingan yang fair bagi Industri gula nasional, bukan memberikan perlindungan terhadap industri gula nasional. Dengan kata lain, landasan dari kebijakan impor adalah tugas pemerintah untuk mengoreksi kegagalan pasar (market failure) sehingga Industri gula nasional dapat bersaing secara fair. Dengan landasan pemikiran tersebut, maka ada tiga pilihan kebijakan impor yang potensial untuk diterapkan yaitu (i) mempertahankan kebijakan yang ada sekarang (existing policies); (ii) menaikkan tarif impor gula; (iii) kombinasi kebijakan harga jaminan – tariff rate quota;
Mempertahankan Kebijakan yang Sekarang Diterapkan
Mempertahankan kebijakan yang ada sekarang berarti melanjutkan kebijakan yang dilandasi oleh Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/M-DAG/Per/4/2005. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan ini sudah cukup menciptakan medan persaingan yang fair bagi industri gula nasional. Dengan tingkat tarif Rp 550/kg untuk raw sugar dan Rp 790/kg untuk white sugar dikombinasikan dengan pengaturan volume impor dan harga jaminan/referen, industri gula Indonesia dinilai mendapat perlakuan yang cukup fair. Tingkat intervensi tersebut jelas dibawah yang dilakukan oleh Eropa Barat dan Amerika, namun sudah cukup berimbang dengan yang dilakukan oleh Thailand ataupun Brazil.
Meningkatkan Tarif Impor (50%)
Meningkatkan tarif impor dapat menjadi pilihan lain untuk menciptakan medan persaingan yang fair bagi Industri gula nasional. Dengan mempertimbangkan binding tariff Indonesia, tingkat tarif impor di negara lain, serta kepentingan harga di tingkat konsumen dan produsen, hasil analisis menunjukkan bahwa tarif impor sampai dengan 50% merupakan pilihan yang cukup kompromistis. Kelebihan kebijakan ini adalah memperkecil peluang terjadinya praktek oligopoli atau kartel karena jumlah importer gula menjadi terbuka, tidak terbatas pada empat perusahaan. Dengan perkataan lain, kebijakan ini menciptakan prilaku importir yang lebih kompetitif. Di samping itu, kebijakan ini akan membuat penerimaan pajak impor untuk negara menjadi meningkat. Satu kelemahan mendasar dari kebijakan ini adalah tingkat efektivitasnya yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kebijakan yang diterapkan sekarang. Karena hanya bersifat kebijakan tunggal, kebijakan ini memiliki efektivitas kebijakan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kebijakan yang kini diterapkan. Hal ini disebabkan tidak ada yang menjamin harga gula di tingkat petani yang membuat petani kembali meghadapi ketidak-pastian harga. Sebagai ilustrasi, kebijakan ini diperkirakan hanya memacu pertumbuhan produksi sekitar 4% per tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, K. 1998. Sistem Kelembagaan Sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Bulletin Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, (148):59-85.
Departemen Perdagangan. 1994. Implikasi Kesepakatan GATT Terhadap Sektor Pertanian Indonesia. Departemen Perdagangan, Jakarta. Devadoss, S dan J. Kropf, 1996. Impacts Of Trade Liberalizations Under The Uruguay Round On The World Sugar Market. Agricultutal Economics, (15): 83-96
Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia, Jakarta.
Elbehri, A., T. Hertel, M. Ingco, K. R. Pearson. 2000. Partial Liberalization Of The World Sugar Market: A General Equilibrium Analysis Or Tarif-Rate Quota Regimes. Makalah disajikan pada Third Annual Conference on Global Economics Analysis, Melbourne, Australia, 27-30 Juni 2003.
FAO. 2003. Important Commodities In Agricultural Trade. FAO Support to the WTO Negotiations, FAO, Rome.
Groombridge, M. A. 2001. America’s Bittersweet Sugar Policy. Trade Briefing Paper. Center for Trade Policy Study, CATO Institute, Washington DC.
Kennedy, P. L. 2001. Sugar Policy. Louisiana State University, Louisiana. Licht, F. O. 1995. The world sugar market in 1994/95’ World Sugar Statisticts, A3-A21.
LMC. 2003. LMC International Documents Wide Range Of Subsidies Among World’s Major Sugar Countries. American Sugar Alliance, January 2003.
Noble, J. 1997. The European Sugar Policy to 2001. World Sugar and Sweetener Yearbook 1996/1997, D13-DA21.
Pursell, G. and A. Gupta. 1997. Trade Policies And Incentives In Indian Agriculture. Development Research Group, the World Bank., New Delhi.
Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000. Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.
Susila, W.R. 2005. Pengengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan sistem Produksi. Desertasi S3. Institut Pertanian Bogor
Susmiadi, A. 1998. Krisis Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap Industri Gula Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada Produksi Gula 1998, Pasuruan, 10 Desember 1998.
USDA. 2002. Sugar: World Markets And Trade. Circular Series, FS 2-02, November 2002, United State Department of Agriculture, Washington DC.
Ringkasan
Setelah menjadi salah satu negara eksporter terbesar di dunia tahun 1930-an, Indonesia kini Menjadi salah satu Negara pengimpor gula terbesar di dunia. Jika kecendrungan ini tidak dapat dicegah, keberadaan industri gula sebagai salah satu industri strategis di Indonesia, akan dalam tekanan. Di samping disebabkan oleh distorsi di pasar internasional, kebijakan pemerintah Indonesia dinilai mempunyai konstribusi terhadap kondisi tersebut. Sejalan dengan isu ini, maka tulisan ini akan membahas dinamika impor gula Indonesia dikaitkan dengan kebijakan pergulaan nasional. Hasil diskusi menunjukkan bahwa kebijakan gula di pasar internasional adalah sangat distortif.
Dinamika impor gula Indonesia dapat dikaitkan dengan tiga regim kebijakan. Pertama, regim kebijakan stabilitas (1971-1996) yang membuat industri gula stabil dan berkembang dan volume import relatif kecil dan fluktuatif. Kedua regim perdagangan bebas (1997- 2001) yang membuat penurunan kinerja industri gula dan lonjakan volume impor. Ketiga, regim kebijakan terkendali (2002-sekarang) yang mampu membuat industri gula mengalami proses pemulihan dan impor menurun. Berdasarkan diskusi tersebut, tiga alternatif kebijakan impor, yaitu mempertahankan kebijakan yang diterapkan sekarang, tarif impor 50%, dan tariff-rate quota, diajukan sebagai alternatif kebijakan impor.
PENDAHULUAN
Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al., 1999; Tjokrodirdjo, et al., 1999; Sudana et al., 2000).
Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 60 pabrik gula (PG) yang aktif yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17 PG yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula Indonesia, 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada tahun 1999 adalah sekitar 341057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Pada dekade terakhir, khususnya periode periode 1994-2004, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat, dari 194,700 ton pada tahun 1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan laju 11.4 % per tahun. Pada periode 1994- 2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 % per tahun. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan 1.2 % per tahun produksi gula dalam negeri menurun dengan laju –1.8 per tahun.
Penurunan produksi bersumber dari penurunan areal dan penurunan produktivitas seperti penurunan rendemen dari 10% pada tahun 1970-an menjadi rata-rata hanya 6.92% pada tahun 1990-an (Dewan Gula Indonesia, 1999). Harga gula di pasar internasional ang terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1999 juga menjadi penyebab kemunduran industri gula Indonesia. Penurunan harga gula ini terutama disebabkan oleh kebijakan hampir semua negara produsen utama dan konsumen utama melakukan intervensi yang kuat terhadap industri dan perdagangan gula. Sebagai contoh, hampir semua negara menerapkan tarif impor lebih dari 50%. Di samping itu, kebijakan dukungan harga (price support) dan subsidi ekspor masih dilakukan oleh negara besar seperti Eropa Barat dan Amerika. Hal ini menempatkan pasar gula merupakan pasar dengan tingkat distorsi tertinggi kedua setelah beras (Noble, 1997; Kennedy, 2001; Groombridge, 2001).
Membiarkan impor terus meningkat berarti membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran yang akan menimbulkan masalah bagi Indonesia. Pertama,industri gula melibatkan sekitar 1.4 juta petani dan tenaga kerja (Bakrie dan Susmiadi, 1999). Kedua, kebangkrutan industri gula juga berkaitan dengan aset yang sangat besar dengan nilai sekitar Rp 50 triliun . Ketiga, gula merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap inflasi, sesuatu yang mengkhawatirkan pelaku bisnis, masyarakat umum, dan pemerintah. Lebih jauh, membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48% akan berpengaruh negatif terhadap upaya pencapaian ketahanan pangan (Pakpahan, 2000; Simatupang et al. 2000). Selanjutnya, beban devisa untuk mengimpor akan terus meningkat yang pada lima tahun terakhir rata-rata devisa yang dikeluarkan sudah mencapai US$ 200 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000).
Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai kebjiakan dinamika impor gula Indonesia dikaitkan dengan kebijakan, baik itu kebijakan pergulaan nasional maupun perdagangan di pasar internasional serta alternatif kebijakan yang berkaitan dengan impor gula Indonesia. Untuk itu, maka organisasi tulisan akan disusun sebagai berikut. Setelah Pendahuluan, terlebih dahulu akan dibahas kebijakan perdagangan dan industri pergulaan di pasar internasonal. Selanjutnya bahasan akan difokuskan pada dinamika impor gula Indonesia yang diikuti dengan pembahasan kebijakan pergulaan domestik. Selanjutnya, bahasan akan ditekankan pada alternative kebijakan impor yang memberikan medan persaingan yang adil (fair) bagi industri gula nasional. Selanjutnya, tulisan diakhiri dengan beberapa catatan penutup.
KEBIJAKAN PERGULAAN DI PASAR INTERNASIONAL
Liberalisasi perdagangan yang antara lain tertuang dalam berbagai komitmen pada Putaran Uruguay (PU) dari GATT ternyata tidak banyak berpengaruh pada tingkat distorsi pada perdagangan dan industri gula (Devadoss dan Kropf, 1996; Noble, 1997; Groombridge 2000; Kennedy 2001; LMC, 2003; FAO, 2003). Dengan perkataan lain, industri dan perdagangan gula pada masa mendatang masih akan tetap distortif, tidak banyak tersentuh oleh komitmen liberalisasi perdagangan.
Liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan disahkannya hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) sebagai rangkaian dari General Agreement on Tarif And Trade (GATT) pada tanggal 15 Desember 1993, sebenarnya memberi peluang yang besar untuk mengurangi distorsi perdagangan dan industri pada sektor pertanian, termasuk untuk gula. Salah satu kekhususan putaran ini adalah dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda perundingan. Dengan perkataan lain, keberhasilan Putaran Uruguay (PU) menyebabkan pemberlakuan sektor pertanian sama dengan sektor lainnya atau sektor pertanian tidak lagi diperlakukan secara eksklusif dalam kerangka GATT (Departemen Perdagangan, 1994).
Amerika Serikat secara historis menggunakan berbagai kebijakan untuk mendukung/melindungi industri gulanya. Kebijakan tersebut menyebabkan sekitar 67% dari pendapatan produsen gula di US merupakan komponen dari kebijakan harga subsidi atau price support. Landasan hukum terbaru yang digunakan US untuk mendukung kebijakan tersebut adalah Farm Security and Rural Investment Act of 2002 (2002 Farm Act). Beberapa kebijakan penting yang diterapkan adalah kebijakan bantuan domestic (price support loan), tariff-rate quota, subsidi ekpsor (export subsidy), program re-ekspor (re-export programs), dan kebijakan pembayaran dalam bentuk natura atau payment-inkind. Sebagai contoh, kebijakan tariff-rate quota (TRQ) merupakan suatu kebijakan pengendalian harga domestik dengan instrumen pengendalian impor. Kebijakan TRQ merupakan kebijakan yang sanga efektif untuk mengendalikan harga di dalam negeri karena TRQ merupakan kombinasi antara tarif dan kuota. Kebijakan ini masih diijinkan digunakan dalam kerangka liberalisasi perdagangan. Akibat kebijakan TRQ dan kebijakan lainnya, harga gula di pasar domestik US jauh di atas harga gula dunia. Untuk gula mentah, perbedaan antara harga di pasar internasional dan US rata-rata adalah sekitar US$c 12/lb atau 126%. Sedangkan untuk gula putih, perbedaan mencapai sekitar US$c 13/lb atau sekitar 104% (USDA 2003).
Biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan kebijakan-kebijakan tersebut tidaklah murah. Sebagai contoh, pada tahun 1998 biaya intervensi mencapai US$ 1.9 miliar. Pemerintah harus menyiapkan dana sekitar US$ 1.68 miliar per tahun untuk pembelian gula. Kesejahteraan yang hilang (welfare loss) sebagai akibat kebijakan tersebut diperkirakan mencapai sekitar US$ 1 miliar per tahun (Kennedy, 2001).
Eropa Barat (EC) dikenal sebagai kelompok negara yang tingkat distorsinya paling tinggi. Intervensi yang tinggi tersebut dilakukan hampir pada semua aspek industri dan perdagangan gula. Untuk melindungi tekanan dari pasar internasional, tingkat tarif impor yang tinggi merupakan salah satu instrumen kebijakan yang digunakan. Sebelum Putaran Uruguay ditandatangani, instrumen tariff impor berupa kebijakan variable levies. Dengan perkataan lain, mereka dapat menaikkan tarif impor jika harga gula di pasar internasional turun secara signifikan. Setelah PU ditandatangani, EC menerapkan binding tariff yang relatif masih tinggi yaitu 146% dengan pendekatan fixed tariff.
Kebijakan yang paling distortif yang diterapkan oleh EC identik dengan yang dilakukan di Amerika yaitu subsidi input/kredit dan jaminan harga yang termasuk kelompok bantuan domestik. Kebijakan ini diimplementasikan dengan membagi produksi menjadi tiga kategori yaitu quota A, B, dan C. Untuk quota A yang di pasarkan di pasar domestik, petani menerima harga sesuai dengan harga intervensi (harga subsidi). Untuk quota B, produsen juga menerima harga subsidi, namun dikurangi pajak yang lebih tinggi yaitu 39.5% dibandingkan quota A yang pajaknya 2%. Produksi di atas quota A dan B, produsen menerima harga sesuai dengan harga di pasar internasional .Kebijakan subsidi harga diperkirakan mencapai sekitar 41% dari pendapatan petani. Di sisi lain, konsumen menerima beban sekitar US$ 3.8 miliar per tahun sebagai akibat harga gula domestic yang tinggi (Noble 1997).
India yang dari aspek ekonomi dan demografi memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia melakukan intervensi yang cukup intensif terhadap industri gulanya. Salah satu landasan hukum kebijakan pergulaan di India adalah dimasukannya gula pada Essential Commodities Acts of 1955. Dengan demikian, berbagai kebijakan pergulaan di India mempunyai landasan hukum yang cukup memadai. Kebijakan pergulan di India pada dasarnya ditekankan pada aspek produksi – harga dan distribusi – harga. Kebijakan produksi-harga yang diterapkan di India pada dasarnya mengacu pada konsep harga dasar. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah dengan berbagai lembaga pendukungnya menentukan semacam harga dasar gula untuk PG yang menjadi landasan untuk menentukan harga tebu petani (Pursell dan Gupta, 1997).
DINAMIKA IMPOR GULA DAN KEBIJAKAN PERGULAAN NASIONAL
Meningkatnya Impor
Pada tahun 1930-an, Indonesia pernah menjadi salah satu eksportir gula terbesar di dunia. Kini Indonesia merupakan salah satu importir terbesar (no. 4) di dunia dengan pangsa impor pada sekitar 3,5% dari impor gula dunia. Pada tahun 1994, impor gula Indonesia baru mencapai 4400 ton dan meningkat menjadi sekitar 1.34 juta ton pada tahun 2004 atau meningkat lebih dari 300 kali lipat (Gambar 1). Untuk tahun 2004, sekitar 0.450 juta ton adalah impor untuk gula konsumsi oleh masyarakat, sedangkan sekitar 0.900 ribu juta ton adalah untuk konsumsi gula industri, seperti industri makanan dan minuman.
Penurunan Produksi
Penurunan produksi secara garis besar disebasbkan oleh tiga faktor utama yaitu:
• Penurunan areal dan peningkatan proporsi areal tebu tegalan;
• Penurunan produktivitas lahan;
• Penurunan efisiensi di tingkat pabrik.
Jika dilihat pada sepuluh tahun terakhir, luas areal tebu Indonesia secara umum mengalami penurunan sekitar 2% per tahun dengan luas areal tertinggi dicapai tahun 1996 dengan luasan 446 ribu ha, walaupun pada tahun 2004 mulai menunjukkan peningkatan. Di samping itu, areal tebu sawah cenderung menurun dan areal tebu tegalan cendrung meningkat. Bias kebijakan pemerintah ke usahatani padi, harga gula yang terus menurun karena distrosi kebijakan gula di pasar internasional, serta konversi lahan untuk industri perumahan dan industri (23.000 ha/tahun) merupakan beberapa faktor penyebab penurunan areal tebu (Woeryanto, 2000; Husodo, 2000; Murdiyatmo, 2000; Pakpahan, 2000 Sumaryanto et al., 1995).
Di samping penurunan areal, penurunan produktivitas merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Jika pada tahun 1990-an produktivitas tebu/ha rata-rata mencapai 76.9/ha, maka pada tahun 2000-an hanya mencapai sekitar 62.7 ton/ha. Rendemen sebagai salah indikator produktivitas juga mengalami penurunan dengan laju sekitar –1.3% per tahun pada dekade terakhir. Pada tahun 1998, rendemen mencapai titik terendah (5.49%). Selanjutnya, rendemen mulai meningkat dan pada tahun 2004 rendemen mencapai 7.67 % (Hadi dan Sutrisno, 2001). Seperti terlihat pada Gambar 2., produktivitas rendah yang berpangkal dari belum optimalnya sistem budidaya yang digunakan yang disebabkan oleh (i) kualitas bahan tanam yang kurang; (ii) sistem bagi hasil antara petani dan PG; (iii) harga yang rendah khususnya pada dekade terakhir; dan (iv) kebijakan pemerintah yang kurang mendukung.
Masalah kedua adalah bahwa kebanyakan petani tidak melakukan peremajaan secara berkala sehingga tanaman mereka umumnya tanaman keprasan, bahkan keprasan tiga atau lebih. Dengan demikian, potensi produktivitas hanya mencapai sekitar 67%- 85% dari tanaman pertama atau PC (Marjayanti dan Arsana, 1999). Berdasarkan data dari beberapa sumber, Marjayanti dan Arsana 1999) memperkirakan tanaman keprasan di Jawa lebih dari 50%.
Masih adanya masalah yang berkaitan dengan sistem bagi hasil antara PG dengan petani juga tidak mendukung upaya peningkatan produktivitas. Sistem yang berlaku sekarang yaitu 65% dari total produksi adalah gula bagian petani dan 35% adalah bagian PG sebagai upah pengolahan masih sering menimbulkan perdebatan. Bagi petani, bagian mereka seyogyanya bisa lebih tinggi bila proses pengolahan di PG berjalan efisien dan kapasitas giling cukup memadai (Husodo 2000).
Harga gula yang rendah dan fluktuatif seperti diuraikan sebelumnya juga menurunkan produktivitas tebu, khususnya tebu rakyat. Walaupun respon produktivitas terhadap harga inelastis, menurunnya harga gula akan menyebabkan penurunan produktivitas (Susila dan Susmiadi, 2000; Abidin, 2000). Harga yang rendah menyebabkan petani tidak optimal dalam menerapkan teknis budidaya, khususnya yang memerlukan uang kas, sehingga akan berdampak negatif terhadap produktivitas (Murdiyatmo, 2000; Woeryanto, 2000; Adisasmito, 1998).
Kebijakan pemerintah yang bias ke usahatani padi, pencabutan subsidi pupuk, dan sering terjadi kesulitan dalam mengimplementasikan jaminan harga (harga provenue) juga berdampak negatif terhadap produktivitas tebu. Pencabutan subsidi yang membuat biaya produksi meningkat dan tidak adanya jaminan harga akan menyebabkan penerapan teknik budidaya menjadi tidak optimal sehingga menurunkan produksitivias (Soentoro et al.,1999; Mardiyatmo 2000; Susila dan Susmiadi, 2000).
Kontribusi penurunan rendemen sebagai akibat inefisiensi di tingkat PG, yang dapat mencapai 30%, dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi pabrik gula, terutama yang ada di Jawa, umumnya sudah tua, sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal (Woeryanto, 2000; Murdiyatmo, 2000; Husodo 2000;). Faktor kedua adalah keterbatasan ketersediaan jumlah bahan baku sehingga pabrik beroperasi di bawah kapasitas optimal. Penurunan areal tebu menyebabkan ketersediaan bahan baku semakin terbatas sehingga PG sering mengalami kesulitan untuk mencapai kapasitas minimum. Dalam sepuluh tahun terakhir, dari 59 pabrik gula di Jawa, 17 perusahaan memiliki total hari penggilingan di bawah standar nasional yaitu 150 hari giling per tahun. Dengan kriteria minimum kapasitas giling 2000 ton tebu per hari, sebanyak 28 pabrik tidak memenuhi tandar tersebut (Arifin, 2000).
Peningkatan Konsumsi
Ketika produksi terus mengalami penurunan, konsumsi domestik baik oleh rumah tangga maupu indistri terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1984, konsumsi gula domestik baru mencapai 1.866 juta ton. Pada tahun 2004, konsumsi melonjak menjadi 3.4 juta ton atau mengalami peningkatan sekitar 0.5% per tahun. Peningkatan konsumsi terutama berkaitan dengan dua faktor yaitu pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan atau pertumbuhan ekonomi. Studi oleh Susila (2005) menyebutkan bahwa karena gula masih merupakan kebutuhan pokok, maka respon konsumsi terhadap perubahan harga gula dan PDB adalah inelastis, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai contoh, elastisitas jangka panjang terhadap perubahan harga eceran dan PDB masing-masing adalah –0.18 dan 0.11. Namun demikian, konsumsi gula elastis terhadap perubahan jumlah penduduk, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Regim Pengendalian Impor
Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah diambang kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani) semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar. Era ini merupakan era dimulainya regim pengendalian impor. Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkat harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen.
Kebijakan tataniaga gula tersebut dinilai masih memiliki beberapa kelemahan seperti belum jelas spesifikasi mutu gula, waktu impor, dan jaminan harga untuk petani. Untuk itu, pemerintah menyempurnakan kebijakan tersebut dengan Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/M-DAG/Per/4/2005. Esensi kebijakan adalah ketentuan ICUMSA yang secara nyata membedakan gula kristal putih, gula rafinasi, dan raw sugar; kejelasan waktu dan pelabuhan impor, serta kenaikan harga referensi di tingkat petanui menjadi Rp 3800/kg. Jika kebijakan ini diikuti oleh perbaikan efisiensi di tingkat usahatani dan PG, kebijakan ini diperkirakan akan efektif untuk mendorong perkembangan industri gula nasional.
Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan kembali industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga gula di pasar internasional juga turut menolong industri gula nasional. Dari sisi areal, dampaknya mulai tampak dan pada tahun 2005 areal diperkirakan mulai meningkat secara signifikan. Produksi mulai meningkat dan mulai tahun 2004 produksi sudah kembali diatas 2 juta ton. Sebagai akibatnya, impor mulai menurun datri sekitar 1.5 juta ton menjadi sekitar 1.3 juta ton. Jika kebijakan-kebijakan ini dipertahankan dan didukung oleh program revitalisasi pembangunan industri gula nasional, Indonesia dapat berharap mencapai swasembada gula pada tahun 2010 (proporsi impor adalah sekitar 90% dari konsumsi nasional). Paling tidak, kebijakan-kebijakan tersebut akan memberi landasan yang memadai untuk kebangkitan industri gula nasional.
PILIHAN KEBIJAKAN IMPOR GULA INDONESIA
Dengan memperhatikan distorsi pasar internasional yang demikian tinggi, maka kebijakan impor gula Indonesia seyogyanya dilandasi pemikiran untuk memberikan medan persaingan yang fair bagi Industri gula nasional, bukan memberikan perlindungan terhadap industri gula nasional. Dengan kata lain, landasan dari kebijakan impor adalah tugas pemerintah untuk mengoreksi kegagalan pasar (market failure) sehingga Industri gula nasional dapat bersaing secara fair. Dengan landasan pemikiran tersebut, maka ada tiga pilihan kebijakan impor yang potensial untuk diterapkan yaitu (i) mempertahankan kebijakan yang ada sekarang (existing policies); (ii) menaikkan tarif impor gula; (iii) kombinasi kebijakan harga jaminan – tariff rate quota;
Mempertahankan Kebijakan yang Sekarang Diterapkan
Mempertahankan kebijakan yang ada sekarang berarti melanjutkan kebijakan yang dilandasi oleh Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/M-DAG/Per/4/2005. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan ini sudah cukup menciptakan medan persaingan yang fair bagi industri gula nasional. Dengan tingkat tarif Rp 550/kg untuk raw sugar dan Rp 790/kg untuk white sugar dikombinasikan dengan pengaturan volume impor dan harga jaminan/referen, industri gula Indonesia dinilai mendapat perlakuan yang cukup fair. Tingkat intervensi tersebut jelas dibawah yang dilakukan oleh Eropa Barat dan Amerika, namun sudah cukup berimbang dengan yang dilakukan oleh Thailand ataupun Brazil.
Meningkatkan Tarif Impor (50%)
Meningkatkan tarif impor dapat menjadi pilihan lain untuk menciptakan medan persaingan yang fair bagi Industri gula nasional. Dengan mempertimbangkan binding tariff Indonesia, tingkat tarif impor di negara lain, serta kepentingan harga di tingkat konsumen dan produsen, hasil analisis menunjukkan bahwa tarif impor sampai dengan 50% merupakan pilihan yang cukup kompromistis. Kelebihan kebijakan ini adalah memperkecil peluang terjadinya praktek oligopoli atau kartel karena jumlah importer gula menjadi terbuka, tidak terbatas pada empat perusahaan. Dengan perkataan lain, kebijakan ini menciptakan prilaku importir yang lebih kompetitif. Di samping itu, kebijakan ini akan membuat penerimaan pajak impor untuk negara menjadi meningkat. Satu kelemahan mendasar dari kebijakan ini adalah tingkat efektivitasnya yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kebijakan yang diterapkan sekarang. Karena hanya bersifat kebijakan tunggal, kebijakan ini memiliki efektivitas kebijakan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kebijakan yang kini diterapkan. Hal ini disebabkan tidak ada yang menjamin harga gula di tingkat petani yang membuat petani kembali meghadapi ketidak-pastian harga. Sebagai ilustrasi, kebijakan ini diperkirakan hanya memacu pertumbuhan produksi sekitar 4% per tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, K. 1998. Sistem Kelembagaan Sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Bulletin Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, (148):59-85.
Departemen Perdagangan. 1994. Implikasi Kesepakatan GATT Terhadap Sektor Pertanian Indonesia. Departemen Perdagangan, Jakarta. Devadoss, S dan J. Kropf, 1996. Impacts Of Trade Liberalizations Under The Uruguay Round On The World Sugar Market. Agricultutal Economics, (15): 83-96
Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia, Jakarta.
Elbehri, A., T. Hertel, M. Ingco, K. R. Pearson. 2000. Partial Liberalization Of The World Sugar Market: A General Equilibrium Analysis Or Tarif-Rate Quota Regimes. Makalah disajikan pada Third Annual Conference on Global Economics Analysis, Melbourne, Australia, 27-30 Juni 2003.
FAO. 2003. Important Commodities In Agricultural Trade. FAO Support to the WTO Negotiations, FAO, Rome.
Groombridge, M. A. 2001. America’s Bittersweet Sugar Policy. Trade Briefing Paper. Center for Trade Policy Study, CATO Institute, Washington DC.
Kennedy, P. L. 2001. Sugar Policy. Louisiana State University, Louisiana. Licht, F. O. 1995. The world sugar market in 1994/95’ World Sugar Statisticts, A3-A21.
LMC. 2003. LMC International Documents Wide Range Of Subsidies Among World’s Major Sugar Countries. American Sugar Alliance, January 2003.
Noble, J. 1997. The European Sugar Policy to 2001. World Sugar and Sweetener Yearbook 1996/1997, D13-DA21.
Pursell, G. and A. Gupta. 1997. Trade Policies And Incentives In Indian Agriculture. Development Research Group, the World Bank., New Delhi.
Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000. Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.
Susila, W.R. 2005. Pengengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan sistem Produksi. Desertasi S3. Institut Pertanian Bogor
Susmiadi, A. 1998. Krisis Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap Industri Gula Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada Produksi Gula 1998, Pasuruan, 10 Desember 1998.
USDA. 2002. Sugar: World Markets And Trade. Circular Series, FS 2-02, November 2002, United State Department of Agriculture, Washington DC.
SUMBER DAYA PERTANIAN
OLEH : EKO SUSANTO (0910480053)
1. Pendahuluan
Sampai saat ini Indonesia merupakan negara yang bercorak agraris. Pada tahun 1999 sektor pertanian menjadi sumber penghidupan 44% rakyat Indonesia (Paleztine, 2010). Jumlah ini belum menghitung sektor-sektor lain yang sangat berkaitan erat dengan pertanian.
Pertanian dan perkebunan adalah sektor yang sangat vital bagi sebuah bangsa. Hal ini terjadi karena pertanian merupakan sumber bahan pangan, sandang, bahkan papan, dan saat ini juga energi. Keempat tadi boleh dikatakan telah menjadi kebutuhan pokok manusia modern saat ini di luar telekomunikasi dan pendidikan (Paleztine, 2010).
Selain itu ketahanan pangan dan energi pada saat ini dikatakan akan menjadi syarat kedaulatan dari sebuah bangsa. Bangsa yang tidak dapat menciptakan ketahanan pangan dan energinya secara mandiri tidak akan bisa menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri. Oleh karena itu pertanian dan perkebunan semakin penting untuk menjadi perhatian pemerintah dalam merencanakan pembangunan negeri (Paleztine, 2010).
Sektor pertanian dan perkebunan tidak lepas dari pemanfaatan sumberdaya yang ada di alam sekitar. Sumberdaya alam adalah keadaan lingkungan alam (natural envinronment) yang mempunyai nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Disekitar kita terdapat braneka macam sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin banyak dan beragam. Sumberdaya alam yang biasa dimanfaatkan dalam bidang pertanian adalah sumberdaya lahan, sumberdaya manusia dan sumberdaya modal.
2. Sumber Daya lahan
Sumber daya Lahan adalah segala sesuatu yg bisa memberikan manfaat di lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya (termasuk didalamnya adalah akibat kegiatan-kegiatan manusia baik masa lalu maupun masa sekarang). misal; penebangan hutan, penggunaan lahan pertanian (Ulung Pamungkas, 2009)
Menurut Apriyanto, 2011. Sumber Daya Lahan (SDL) yang ada di indonesia antara lain terdiri dari :
– Lahan Basah
Lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin (Notohadiprawiro, 2006).
– Lahan Kering
Lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Untuk usaha pertanian lahan kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan lahan, yaitu lahan kering berbasis palawija (tegalan), lahan kering berbasis sayuran (dataran tinggi) dan pekarangan (Setiawan, 2008).
– Lahan Gambut
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian (Agus, 2008).
2.1 Peran sumberdaya lahan dibidang pertanian.
Sumberdaya alam memiliki fungsi atau manfaat yang sangat besar bagi manusia. Tanpa sumberdaya alam tentunya manusia tidak dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan aktivitasnya (Anonymous3, 2011).
Di sekitar kita terdapat tanah dengan berbagai jenis dan karakteristiknya. Benda yang setiap hari kita lihat dan kita injak tersebut memiliki manfaat yang beragam, dalam bidang pertanian tentu saja sumberdaya lahan digunakan sebagai media budidaya tanaman.
Sumberdaya lahan di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai lahan produksi budidaya pertanian dapat di bagi menjadi 3 kategori, yaitu
1. Budidaya tanaman Pangan.
2. Budidaya tanaman Perkebunan.
3. Budidaya tanaman Holtikultura (tanaman buah, sayuran, hias, obat dan aromatik).
2.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya lahan.
Menurut anonymous3, 2011. Permasalahan sumberdaya lahan terdiri beberapa poin berikut :
1. Semakin menurunnya kesuburan tanah akibat pemanfaatan yang intensif atau terus menerus.
2. Terjadi pencemaran lingkungan akibat kegiatan pemupukan dan pemberantasan hama dengan menggunakan pestisida anorganik secara tidak sehat.
3. Kompetisi pemanfaatan lahan untuk pembangunan dan pertanian serta kepentingan konservasi sering berbenturan satu sama lain.
2.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya lahan
• Melakukan teknik budidaya dengan pendekatan agroekosistem yang ramah lingkungan.
• Pembangunan yang berwawasan lingkungan, berarti pembangunan yang memperhatikan keseimbangan yang sehat antara manusia dengan lingkungannya sehingga keseimbangan alam dapat terjaga. Ciri keseimbangan alam dapat dilihat dari biodiversitas yang terdapat pada alam tersebut (Stijati, 2010).
3. Sumberdaya Manusia
Sumber daya manusia adalah seluruh kemampuan atau potensi penduduk yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta karakteristik atau ciri demografis, sosial maupun ekonominya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan (Anonymous2, 2009).
Sumber daya manusia merujuk pada jasa yang disediakan oleh tenaga kerja termasuk keterampilan wirausaha dan manajemen. Sumberdaya manusia hingga batas tertentu termasuk sumberdaya yang langka meskipun angka pengangguran di daerah yang bersangkutan tidak sama dengan nol. Bentuk formasi sumberdaya manusia lainnya adalah kemampuan manajemen yang antara lain menyediakan jasa kewirausahaan, misalnya membentuk perusahaan baru, renovasi dan atau ekspansi perusahaan yang telah ada (Anonymous3, 2011).
3.1 Peran sumberdaya manusia dibidang pertanian
Bidang usaha yang paling maju di Indonesia adalah bidang pertanian. Maju dalam arti paling dahulu diusahakan, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha itu paling banyak, serta pengalaman bangsa Indonesia di bidang ini tentunya paling banyak.
Anonymous2, 2009 mengemukakan bahwa di dalam bidang pertanian, sumberdaya manusia memiliki berbagai peranan yang berpengaruh dalam kegiatan produksi, yaitu :
1) Petani pemilik, yaitu petani yang mengusahakan sendiri tanahnya.
2) Petani penggarap yaitu petani yang mengusahakan tanah orang lain atas dasar bagi hasil.
3) Buruh tani ialah orang yang menyewakan tenaganya untuk usaha pertanian.
Sumber daya manusia sangat diperlukan dalam mengambil dan mengolah sumber daya alam, sehingga dapat lebih berguna untuk memenuhi kebutuhannya (Anonymous3, 2011).
3.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya manusia
Menurut Anton Apriyanto, 2011. Permasalahan sumberdaya manusia di bidang pertanian terdapat pada 2 faktor, yaitu
1. Tingkat pendidikan yang rendah.
2. Keterampilan kurang.
3.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya manusia.
1. Pembentukan lembaga – lembaga pertanian yang berfungsi untuk memfasilitasi dan membimbing petani seperti LSM Pertanian “Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI – Indra Lubis)” (Apriyanto, 2011).
4. Sumberdaya Modal
Sumber daya modal adalah barang-barang (sarana) yang dapat digunakan untuk menghasilkan barang lain, misalnya: uang, bahan mentah, mesin, perkakas, dsb (Soekartawi, 1989).Sumber daya modal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Menurut Sifatnya
a.Modal Lancar, yaitu modal yang hanya dapat digunakan satu kali dalam proses produksi seperti bahan baku dan bahan mentah.
b.Modal Tetap, yaitu modal yang dapat digunakan lebih dari satu kali dalam proses produksi, seperti mesin-mesin atau peralatan.
2) Menurut fungsinya
a.Modal Individu, yaitu modal yang digunakan oleh individu sebagai sumber pendapatan sekalipun pemiliknya tidak ikut dalam proses produksi, seperti pemilik taxi.
b.Modal Masyarakat, yaitu modal yang digunakan oleh masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa, seperti kendaraan umum.
3) Menurut Bentuknya
a.Modal Abstrak, yaitu modal yang tidak berbentuk fisik (tidak berwujud) tapi sangat menentukan hasil produksi seperti keahlian seseorang.
b.Modal Konkrit, yaitu modal yang wujud fisiknya dapat dilihat (berwujud) seperti mesin-mesin.
4) Modal menurut pemiliknya
a. Modal perseorangan, artinya modal tersebut dimiliki oleh perseorangan. Misalnya, gedung dan kendaraan.
b. Modal masyarakat, artinya modal tersebut dimiliki oleh banyak orang dan untuk kepentingan orang banyak. Misalnya, jalan dan jembatan.
5) Modal menurut bentuknya
a. Uang, artinya modal berupa dana.
b. Barang, artinya modal berupa alat yang digunakan dalam proses produksi. Misalnya, mesin, gedung, dan kendaraan.
6) Modal menurut sumbernya
a. Modal sendiri, artinya modal yang berasal dari pemilik perusahaan. Misalnya, saham dan tabungan.
b. Modal pinjaman, artinya modal pinjaman dari pihak
4.1 Peran Sumberdaya modal di bidang pertanian
Modal dalam usaha tani diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, baik berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu secara langsung atau tak langsung dalam suatu proses produksi. Pembentukan modal bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani, serta menunjang pembentukan modal lebih lanjut (Soekartawi, 1989).
4.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya modal
Menurut Endang Setyawati, 2008 Permasalahan pembiayaan (pemodalan) pertanian disebabkan oleh
1. Kelangkaan sumber daya modal.
2. Terbatasnya lembaga peminjaman kridit.
3. Terbatasnya lembaga asuransi di bidang pertanian.
4.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya modal
Mendorong Peran Lembaga Keuangan (Bank Dan Non-bank) Untuk Masuk Sektor Pertanian Dengan Skema yang Menguntungkan Petani (Apriyanto, 2011).
5. Sumberdaya Abiotik
Sumber daya abiotik merupakan suatu lingkungan abiotik yang diperlukan oleh organisme dan ketersediaannya akan berkurang jika dimanfaatkan oleh organisme, misalnya air, udara, tanah, dan sebagainya (Odum,1983). Sumber daya abiotik meliputi segala jenis sumber daya alam yang berasal dari benda mati, misalnya air, udara, tanah dan sinar matahari.
5.1 Peran sumberdaya abiotik di bidang pertanian
• Air memiliki manfaat yang besar dalam kehidupan manusia maupun makhluk hidup lainnya. Manfaat air di bidang pertanian sebagi pemenuh kebutuhan tanaman akan air (irigasi) (Anonymous1, 2010).
• Tanah memiliki manfaat yang penting dalam bidang pertanian diantaranya adalah sebagai penyedia hara tanaman, cengkraman akar, menetralisir racun dll. tanah, yang merupakan media yang baik bagi perakaran tanaman, sebagai gudang unsur hara dan sanggup menyediakan air serta udara bagi keperluan tanaman. Jumlah dan macam bahan penyusun tanah tersebut dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain di permukaan bumi ini sehingga dapat dibedakan satu jenis tanah dengan jenis tanah lainnya (Nawawi, 2001).
• Udara memiliki manfaat sebagai respirasi dan pembantu penyerbukan tanaman di lahan pertanian (Anonymous1, 2010).
• Sinar matahari dimanfaatkan tanaman untuk melakukan metabolisme fotosintesis (Anonymous1, 2010).
5.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya abiotik
• Kelangkaan air.
Menurut informasi yang dilansir Green Radio, sektor pertanian yang saat ini mempekerjakan lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia akan menghadapi ancaman kekurangan air sebagai dampak pemanasan global. Lembaga riset Worldwatch Institute menyatakan perubahan radikal di bidang pangan dan air perlu dilakukan demi mengurangi kelangkaan stok makanan dunia di masa depan (Jusuf, 2011).
• Longsor dan erosi tanah.
Longsor memindahkan massa tanah dengan volume yang besar, adakalanya disertai oleh batuan dan pepohonan, dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan erosi tanah adalah memindahkan partikel-partikel tanah dengan volume yang relatif lebih kecil pada setiap kali kejadian dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama (Anonymous3, 2010).
• Polusi udara
Tumbuh – tumbuhan memiliki reaksi yang besar dalam menerima pengaruh perubahan atau gangguan akibat polusi udara dan perubahan lingkungan. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang berpengaruh, diantaranya spesies tanaman, umur, keseimbangan nutrisi, kondisi tanaman, tempratur, kelembapan dan penyinaran (Budiyono,).
5.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya abiotik
• Instalasi sistem irigasi yang dilengkapi dengan filterisasi.
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia (Anonymous1, 2010).
• Penanaman LCC dan Penghijauan dengan penanaman tanaman berperakaran dalam.
Penanaman LCC ditujukan untuk menutup lahan yang yang tidak ditanami karena ketidaksesuaian lahan. Penutupan lahan juga dimaksudkan untuk mengurangi erosi pada lahan miring karena curahan hujan langsung mengenai tanah. Selain itu LCC dapat menyuburkan tanah (kacang - kacangan) yang dapat menambat N dalam tanah. Penanaman tanaman pagar dan naungan dapat mencegah longsor karena memiliki perakaran yang dalam dan kuat (Anonymous3, 2011).
• Penghijauan atau reboisasi.
Reboisasi adalah penanaman pohon dalam kawasan hutan yang rusak dan penghijauan penanaman pohon di luar kawasan hutan. Reboisasi/penghijauan memperluas tajuk pohon sehingga intersepsi hujan dan evapotranspirasi bertambah sehingga reboisasi/penghijauan mengurangi jumlah air per tahun. Reboisasi/penghijauan menambah laju peresapan air ke dalam tanah dan mengurangi volume air yang mengalir di atas permukaan tanah (Soemarwoto, 2011).
6. Sumberdaya Biotik
Sumber daya alam hayati (biotik); merupakan sumber daya alam yang berupa makhluk hidup. Misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba, dan manusia (Anonymous3, 2011).
6.1 Peran sumberdaya biotik dalam bidang pertanian
• Musuh Alami hama dan penyakit.
Dalam kehidupan di alam, setiap organisme pengganggu tumbuhan (OPT) mempunyai musuh alami. Biasanya perkembangan populasi OPT dikendalikan secara alami oleh musuh alaminya. Sejak tahun delapan puluhan, kehadiran musuh alami kembali dimanfaatkan dalam pengendalian OPT melalui pendekatan agro-ekosistem (Mahatva, 2010).
• Menyediakan bahan organik.
Lapisan serasah juga merupakan dunia kecil di atas tanah, yang menyediakan tempat hidup bagi berbagai makhluk terutama para dekomposer. Berbagai jenis kumbang tanah, lipan, kaki seribu, cacing tanah, kapang dan jamur serta bakteri bekerja keras menguraikan bahan-bahan organik yang menumpuk, sehingga menjadi unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan kembali oleh makhluk hidup lainnya. Jasad makhluk hidup yang mati dan kotoran yang diproduksi juga memberikan asupan bahan organik (Syahyuti, 2006).
• Tanaman Produksi
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya biotik yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (Anonymous2, 2009).
6.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya biotik
• Punahnya flora dan fauna, sehingga mengurangi bahan keanekaragaman produksi pertanian.
Beberapa jenis flora dan fauna kini semakin sulit ditemui karena banyak diburu untuk tujuan tertentu (dimakan, untuk obat, perhiasan) maupun tempat hidupnya dirusak manusia misalnya unntuk dijadikan lahan pertanian, perumahan, industri, dan sebagainya. Flora dan fauna yang jumlahnya sangat terbatas tersebut dinyatakan sebagai flora dan fauna langka (Anonymous3, 2011).
6.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya biotik
• Melakukan teknik budidaya dengan pendekatan agroekosistem yang ramah lingkungan.
Pembangunan yang berwawasan lingkungan, berarti pembangunan yang memperhatikan keseimbangan yang sehat antara manusia dengan lingkungannya sehingga keseimbangan alam dapat terjaga. Ciri keseimbangan alam dapat dilihat dari biodiversitas yang terdapat pada alam tersebut (Stijati, 2010).
7. Sumber Daya Teknologi
Sumber Daya Teknologi adalah merupakan faktor produksi yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta yang berdasarkan proses teknis. Sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi, Departemen Pertanian melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) akan mengembangkan jaringan informasi pertanian untuk pengelolaan dan pemanfaatan informasi pertanian dalam format digital di samping penyebaran informasi secara konvensional, khususnya bagi pengembangan pertanian lahan marjinal. Dengan demikian, pencarian informasi dapat dilakukan secara offline maupun online baik untuk download informasi maupun upload informasi. Penguatan jaringan global merupakan strategi pengelolaan sumber daya informasi yang sangat berkaitan dengan unsur sumber daya teknologi. Hal yang paling penting sebagai upaya untuk pengembangan pembangunan pertanian adalah akses terhadap teknologi yaitu melalui jaringan global (internet).
7.1 Peran sumberdaya lahan dibidang pertanian.
Teknologi yang ada bergantung dari mekanisasi pertanian yang dibutuhkan oleh suatu lahan. Persoalan menjadi sedikit lebih rumit ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor eksogen dalam suatu sistem ekonomi --di sini berarti pengembangan kedua jenis teknologi merupakan produk atau hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi-- ataukah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor endogen suatu sistem ekonomi. Dalam suatu sistem perekonomian yang dinamis, perubahan harga permintaan produk dan harga penawaran faktor produksi tidaklah dapat dipisahkan. Misalnya, ketika permintaan terhadap bahan makanan naik karena naiknya jumlah penduduk atau meningkatnya pendapatan per kapita, permintaan terhadap faktor produksi tersebut ikut naik secara proporsional.
7.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya teknologi.
• Sistem alih teknologi lemah
• Penerapan teknologi kurang tepat sasaran
• Pemanfaatan teknologi informasi belum menyentuh petani
• Minat petani mencari informasi lemah
• Penggunaan media informasi pertanian belum meluas
7.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya teknologi
• Pemberian insentif kepada siswa yang ingin melanjutkan ke Fakultas Pertanian.
• Mendirikan organisasi yang memberi penyuluhan dan fasilitas kepada petani tentang introduksi teknologi-teknologi yang berkembang dalam pertanian.
8. Sumber Daya Management
Suatu ilmu atau cara bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Manajemen sumber daya manusia juga menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan yang baik.
Manajemen Sumber Daya Manusia diperlukan untuk meningkatkan efektivitas sumber daya manusia dalam organisasi. Tujuannya adalah memberikan kepada organisasi satuan kerja yang efektif. Untuk mencapai tujuan ini, studi tentang manajemen personalia akan menunjukkan bagaimana seharusnya perusahaan mendapatkan, mengembangkan, menggunakan, mengevaluasi, dan memelihara karyawan dalam jumlah (kuantitas) dan tipe (kualitas).
8.1 Peran sumberdaya management dibidang pertanian.
Di dalam pertanian proses suatu manajemen ,cukup berperan dari proses persiapan lahan,untuk memilih komoditas yang cocok dengan lahan sampai dengan proses pemasaran hasil. Dapat dilihat juga dari kinerja proses dan para pengambil keputusan dan para pelaksana ,sejauh mana mereka berhasil. Dari keputusan alokasi yang ada ,supaya dapat meminimalkan biaya dan memaksimalkan peruntungan mengatur kurang efisien.
8.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya management.
• Masalah Organisasi Petani
• Kurangnya sumber daya manusia yang kompeten.
8.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya management
• Pengelolaan kepengurusan antar anggota petani secara jelas.
• Pembinaan sumber daya manusia secara intensif untuk menciptakan SDM yang competen dalam menjalankan sistem dalam organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Anonymous1. 2010. Kualitas SDM Pertanian Masih Rendah. http://metrotvnews.com/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Anonymous2. 2009. Mengenal Sumber Daya Alam Indonesia. http://www.abdi10.co.tv/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Anonymous3. 2011. SUMBERDAYA ALAM. http://file.upi.edu/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Apriyanto, A. 2011. Pembangunan Pertanian di Indonesia. http:// www.deptan.go.id/renbangtan/konsep_pembangunan_pertanian.pdf. Diunduh pada tanggal 6 April 2011
Budiyono, A. 2011. Pencemaran Udara : Dampak Pencemaran Udara Pada Lingkungan. http://www.perpustakaan.lapan.go.id/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Jusuf, J. 2011. Kelangkaan Air dan Makanan Ancam Sektor Pertanian. http://iklimkarbon.com/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Mahatva, A. 2010. KONSEP PENGENDALIAN OPT (ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Nawawi, G. 2001. FUNGSII DAN MANFAAT TANAH DAN PUPUK. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta
Notohadiprawiro, T. 2006. Pemanfaatan Lahan Basah : Kontroversi yang Tidak Ada Habisnya. http://soil.faperta.ugm.ac.id/. Diunduh pada tanggal 6 Maret 2011.
Odum, E.P. 1983. Basic Ecology. Saunders College Publishing. United States America
Palestine, D. 2010. Memajukan Pertanian dan Perkebunan. http://suarapembaca.detik.com/. Diakses tanggal 6 April 2011.
Setiawan, I. 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Setijati, D. 2010. Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan. LIPI Press. Jakarta
Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Rajawali Press. Jakarta
Soemarwoto, O. 2011. Hutan, Reboisasi/ Penghijauan, dan Air. http://www.unisosdem.org/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Syahyuti. 2006. Kebijakan Lahan Pertanian Abadi sulit di wujudkan, Buletin Analisis kebijakan pertanian, vol 4 no 2.juni 2006 : 96 - 108
Ulung Pamungkas. 2009. PEMETAAN SUMBER DAYA LAHAN. Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Sriwijaya. Palembang. Sumatra Selatan
1. Pendahuluan
Sampai saat ini Indonesia merupakan negara yang bercorak agraris. Pada tahun 1999 sektor pertanian menjadi sumber penghidupan 44% rakyat Indonesia (Paleztine, 2010). Jumlah ini belum menghitung sektor-sektor lain yang sangat berkaitan erat dengan pertanian.
Pertanian dan perkebunan adalah sektor yang sangat vital bagi sebuah bangsa. Hal ini terjadi karena pertanian merupakan sumber bahan pangan, sandang, bahkan papan, dan saat ini juga energi. Keempat tadi boleh dikatakan telah menjadi kebutuhan pokok manusia modern saat ini di luar telekomunikasi dan pendidikan (Paleztine, 2010).
Selain itu ketahanan pangan dan energi pada saat ini dikatakan akan menjadi syarat kedaulatan dari sebuah bangsa. Bangsa yang tidak dapat menciptakan ketahanan pangan dan energinya secara mandiri tidak akan bisa menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri. Oleh karena itu pertanian dan perkebunan semakin penting untuk menjadi perhatian pemerintah dalam merencanakan pembangunan negeri (Paleztine, 2010).
Sektor pertanian dan perkebunan tidak lepas dari pemanfaatan sumberdaya yang ada di alam sekitar. Sumberdaya alam adalah keadaan lingkungan alam (natural envinronment) yang mempunyai nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Disekitar kita terdapat braneka macam sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin banyak dan beragam. Sumberdaya alam yang biasa dimanfaatkan dalam bidang pertanian adalah sumberdaya lahan, sumberdaya manusia dan sumberdaya modal.
2. Sumber Daya lahan
Sumber daya Lahan adalah segala sesuatu yg bisa memberikan manfaat di lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya (termasuk didalamnya adalah akibat kegiatan-kegiatan manusia baik masa lalu maupun masa sekarang). misal; penebangan hutan, penggunaan lahan pertanian (Ulung Pamungkas, 2009)
Menurut Apriyanto, 2011. Sumber Daya Lahan (SDL) yang ada di indonesia antara lain terdiri dari :
– Lahan Basah
Lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin (Notohadiprawiro, 2006).
– Lahan Kering
Lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Untuk usaha pertanian lahan kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan lahan, yaitu lahan kering berbasis palawija (tegalan), lahan kering berbasis sayuran (dataran tinggi) dan pekarangan (Setiawan, 2008).
– Lahan Gambut
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian (Agus, 2008).
2.1 Peran sumberdaya lahan dibidang pertanian.
Sumberdaya alam memiliki fungsi atau manfaat yang sangat besar bagi manusia. Tanpa sumberdaya alam tentunya manusia tidak dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan aktivitasnya (Anonymous3, 2011).
Di sekitar kita terdapat tanah dengan berbagai jenis dan karakteristiknya. Benda yang setiap hari kita lihat dan kita injak tersebut memiliki manfaat yang beragam, dalam bidang pertanian tentu saja sumberdaya lahan digunakan sebagai media budidaya tanaman.
Sumberdaya lahan di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai lahan produksi budidaya pertanian dapat di bagi menjadi 3 kategori, yaitu
1. Budidaya tanaman Pangan.
2. Budidaya tanaman Perkebunan.
3. Budidaya tanaman Holtikultura (tanaman buah, sayuran, hias, obat dan aromatik).
2.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya lahan.
Menurut anonymous3, 2011. Permasalahan sumberdaya lahan terdiri beberapa poin berikut :
1. Semakin menurunnya kesuburan tanah akibat pemanfaatan yang intensif atau terus menerus.
2. Terjadi pencemaran lingkungan akibat kegiatan pemupukan dan pemberantasan hama dengan menggunakan pestisida anorganik secara tidak sehat.
3. Kompetisi pemanfaatan lahan untuk pembangunan dan pertanian serta kepentingan konservasi sering berbenturan satu sama lain.
2.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya lahan
• Melakukan teknik budidaya dengan pendekatan agroekosistem yang ramah lingkungan.
• Pembangunan yang berwawasan lingkungan, berarti pembangunan yang memperhatikan keseimbangan yang sehat antara manusia dengan lingkungannya sehingga keseimbangan alam dapat terjaga. Ciri keseimbangan alam dapat dilihat dari biodiversitas yang terdapat pada alam tersebut (Stijati, 2010).
3. Sumberdaya Manusia
Sumber daya manusia adalah seluruh kemampuan atau potensi penduduk yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta karakteristik atau ciri demografis, sosial maupun ekonominya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan (Anonymous2, 2009).
Sumber daya manusia merujuk pada jasa yang disediakan oleh tenaga kerja termasuk keterampilan wirausaha dan manajemen. Sumberdaya manusia hingga batas tertentu termasuk sumberdaya yang langka meskipun angka pengangguran di daerah yang bersangkutan tidak sama dengan nol. Bentuk formasi sumberdaya manusia lainnya adalah kemampuan manajemen yang antara lain menyediakan jasa kewirausahaan, misalnya membentuk perusahaan baru, renovasi dan atau ekspansi perusahaan yang telah ada (Anonymous3, 2011).
3.1 Peran sumberdaya manusia dibidang pertanian
Bidang usaha yang paling maju di Indonesia adalah bidang pertanian. Maju dalam arti paling dahulu diusahakan, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha itu paling banyak, serta pengalaman bangsa Indonesia di bidang ini tentunya paling banyak.
Anonymous2, 2009 mengemukakan bahwa di dalam bidang pertanian, sumberdaya manusia memiliki berbagai peranan yang berpengaruh dalam kegiatan produksi, yaitu :
1) Petani pemilik, yaitu petani yang mengusahakan sendiri tanahnya.
2) Petani penggarap yaitu petani yang mengusahakan tanah orang lain atas dasar bagi hasil.
3) Buruh tani ialah orang yang menyewakan tenaganya untuk usaha pertanian.
Sumber daya manusia sangat diperlukan dalam mengambil dan mengolah sumber daya alam, sehingga dapat lebih berguna untuk memenuhi kebutuhannya (Anonymous3, 2011).
3.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya manusia
Menurut Anton Apriyanto, 2011. Permasalahan sumberdaya manusia di bidang pertanian terdapat pada 2 faktor, yaitu
1. Tingkat pendidikan yang rendah.
2. Keterampilan kurang.
3.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya manusia.
1. Pembentukan lembaga – lembaga pertanian yang berfungsi untuk memfasilitasi dan membimbing petani seperti LSM Pertanian “Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI – Indra Lubis)” (Apriyanto, 2011).
4. Sumberdaya Modal
Sumber daya modal adalah barang-barang (sarana) yang dapat digunakan untuk menghasilkan barang lain, misalnya: uang, bahan mentah, mesin, perkakas, dsb (Soekartawi, 1989).Sumber daya modal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Menurut Sifatnya
a.Modal Lancar, yaitu modal yang hanya dapat digunakan satu kali dalam proses produksi seperti bahan baku dan bahan mentah.
b.Modal Tetap, yaitu modal yang dapat digunakan lebih dari satu kali dalam proses produksi, seperti mesin-mesin atau peralatan.
2) Menurut fungsinya
a.Modal Individu, yaitu modal yang digunakan oleh individu sebagai sumber pendapatan sekalipun pemiliknya tidak ikut dalam proses produksi, seperti pemilik taxi.
b.Modal Masyarakat, yaitu modal yang digunakan oleh masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa, seperti kendaraan umum.
3) Menurut Bentuknya
a.Modal Abstrak, yaitu modal yang tidak berbentuk fisik (tidak berwujud) tapi sangat menentukan hasil produksi seperti keahlian seseorang.
b.Modal Konkrit, yaitu modal yang wujud fisiknya dapat dilihat (berwujud) seperti mesin-mesin.
4) Modal menurut pemiliknya
a. Modal perseorangan, artinya modal tersebut dimiliki oleh perseorangan. Misalnya, gedung dan kendaraan.
b. Modal masyarakat, artinya modal tersebut dimiliki oleh banyak orang dan untuk kepentingan orang banyak. Misalnya, jalan dan jembatan.
5) Modal menurut bentuknya
a. Uang, artinya modal berupa dana.
b. Barang, artinya modal berupa alat yang digunakan dalam proses produksi. Misalnya, mesin, gedung, dan kendaraan.
6) Modal menurut sumbernya
a. Modal sendiri, artinya modal yang berasal dari pemilik perusahaan. Misalnya, saham dan tabungan.
b. Modal pinjaman, artinya modal pinjaman dari pihak
4.1 Peran Sumberdaya modal di bidang pertanian
Modal dalam usaha tani diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, baik berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu secara langsung atau tak langsung dalam suatu proses produksi. Pembentukan modal bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani, serta menunjang pembentukan modal lebih lanjut (Soekartawi, 1989).
4.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya modal
Menurut Endang Setyawati, 2008 Permasalahan pembiayaan (pemodalan) pertanian disebabkan oleh
1. Kelangkaan sumber daya modal.
2. Terbatasnya lembaga peminjaman kridit.
3. Terbatasnya lembaga asuransi di bidang pertanian.
4.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya modal
Mendorong Peran Lembaga Keuangan (Bank Dan Non-bank) Untuk Masuk Sektor Pertanian Dengan Skema yang Menguntungkan Petani (Apriyanto, 2011).
5. Sumberdaya Abiotik
Sumber daya abiotik merupakan suatu lingkungan abiotik yang diperlukan oleh organisme dan ketersediaannya akan berkurang jika dimanfaatkan oleh organisme, misalnya air, udara, tanah, dan sebagainya (Odum,1983). Sumber daya abiotik meliputi segala jenis sumber daya alam yang berasal dari benda mati, misalnya air, udara, tanah dan sinar matahari.
5.1 Peran sumberdaya abiotik di bidang pertanian
• Air memiliki manfaat yang besar dalam kehidupan manusia maupun makhluk hidup lainnya. Manfaat air di bidang pertanian sebagi pemenuh kebutuhan tanaman akan air (irigasi) (Anonymous1, 2010).
• Tanah memiliki manfaat yang penting dalam bidang pertanian diantaranya adalah sebagai penyedia hara tanaman, cengkraman akar, menetralisir racun dll. tanah, yang merupakan media yang baik bagi perakaran tanaman, sebagai gudang unsur hara dan sanggup menyediakan air serta udara bagi keperluan tanaman. Jumlah dan macam bahan penyusun tanah tersebut dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain di permukaan bumi ini sehingga dapat dibedakan satu jenis tanah dengan jenis tanah lainnya (Nawawi, 2001).
• Udara memiliki manfaat sebagai respirasi dan pembantu penyerbukan tanaman di lahan pertanian (Anonymous1, 2010).
• Sinar matahari dimanfaatkan tanaman untuk melakukan metabolisme fotosintesis (Anonymous1, 2010).
5.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya abiotik
• Kelangkaan air.
Menurut informasi yang dilansir Green Radio, sektor pertanian yang saat ini mempekerjakan lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia akan menghadapi ancaman kekurangan air sebagai dampak pemanasan global. Lembaga riset Worldwatch Institute menyatakan perubahan radikal di bidang pangan dan air perlu dilakukan demi mengurangi kelangkaan stok makanan dunia di masa depan (Jusuf, 2011).
• Longsor dan erosi tanah.
Longsor memindahkan massa tanah dengan volume yang besar, adakalanya disertai oleh batuan dan pepohonan, dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan erosi tanah adalah memindahkan partikel-partikel tanah dengan volume yang relatif lebih kecil pada setiap kali kejadian dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama (Anonymous3, 2010).
• Polusi udara
Tumbuh – tumbuhan memiliki reaksi yang besar dalam menerima pengaruh perubahan atau gangguan akibat polusi udara dan perubahan lingkungan. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang berpengaruh, diantaranya spesies tanaman, umur, keseimbangan nutrisi, kondisi tanaman, tempratur, kelembapan dan penyinaran (Budiyono,).
5.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya abiotik
• Instalasi sistem irigasi yang dilengkapi dengan filterisasi.
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia (Anonymous1, 2010).
• Penanaman LCC dan Penghijauan dengan penanaman tanaman berperakaran dalam.
Penanaman LCC ditujukan untuk menutup lahan yang yang tidak ditanami karena ketidaksesuaian lahan. Penutupan lahan juga dimaksudkan untuk mengurangi erosi pada lahan miring karena curahan hujan langsung mengenai tanah. Selain itu LCC dapat menyuburkan tanah (kacang - kacangan) yang dapat menambat N dalam tanah. Penanaman tanaman pagar dan naungan dapat mencegah longsor karena memiliki perakaran yang dalam dan kuat (Anonymous3, 2011).
• Penghijauan atau reboisasi.
Reboisasi adalah penanaman pohon dalam kawasan hutan yang rusak dan penghijauan penanaman pohon di luar kawasan hutan. Reboisasi/penghijauan memperluas tajuk pohon sehingga intersepsi hujan dan evapotranspirasi bertambah sehingga reboisasi/penghijauan mengurangi jumlah air per tahun. Reboisasi/penghijauan menambah laju peresapan air ke dalam tanah dan mengurangi volume air yang mengalir di atas permukaan tanah (Soemarwoto, 2011).
6. Sumberdaya Biotik
Sumber daya alam hayati (biotik); merupakan sumber daya alam yang berupa makhluk hidup. Misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba, dan manusia (Anonymous3, 2011).
6.1 Peran sumberdaya biotik dalam bidang pertanian
• Musuh Alami hama dan penyakit.
Dalam kehidupan di alam, setiap organisme pengganggu tumbuhan (OPT) mempunyai musuh alami. Biasanya perkembangan populasi OPT dikendalikan secara alami oleh musuh alaminya. Sejak tahun delapan puluhan, kehadiran musuh alami kembali dimanfaatkan dalam pengendalian OPT melalui pendekatan agro-ekosistem (Mahatva, 2010).
• Menyediakan bahan organik.
Lapisan serasah juga merupakan dunia kecil di atas tanah, yang menyediakan tempat hidup bagi berbagai makhluk terutama para dekomposer. Berbagai jenis kumbang tanah, lipan, kaki seribu, cacing tanah, kapang dan jamur serta bakteri bekerja keras menguraikan bahan-bahan organik yang menumpuk, sehingga menjadi unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan kembali oleh makhluk hidup lainnya. Jasad makhluk hidup yang mati dan kotoran yang diproduksi juga memberikan asupan bahan organik (Syahyuti, 2006).
• Tanaman Produksi
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya biotik yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (Anonymous2, 2009).
6.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya biotik
• Punahnya flora dan fauna, sehingga mengurangi bahan keanekaragaman produksi pertanian.
Beberapa jenis flora dan fauna kini semakin sulit ditemui karena banyak diburu untuk tujuan tertentu (dimakan, untuk obat, perhiasan) maupun tempat hidupnya dirusak manusia misalnya unntuk dijadikan lahan pertanian, perumahan, industri, dan sebagainya. Flora dan fauna yang jumlahnya sangat terbatas tersebut dinyatakan sebagai flora dan fauna langka (Anonymous3, 2011).
6.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya biotik
• Melakukan teknik budidaya dengan pendekatan agroekosistem yang ramah lingkungan.
Pembangunan yang berwawasan lingkungan, berarti pembangunan yang memperhatikan keseimbangan yang sehat antara manusia dengan lingkungannya sehingga keseimbangan alam dapat terjaga. Ciri keseimbangan alam dapat dilihat dari biodiversitas yang terdapat pada alam tersebut (Stijati, 2010).
7. Sumber Daya Teknologi
Sumber Daya Teknologi adalah merupakan faktor produksi yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta yang berdasarkan proses teknis. Sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi, Departemen Pertanian melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) akan mengembangkan jaringan informasi pertanian untuk pengelolaan dan pemanfaatan informasi pertanian dalam format digital di samping penyebaran informasi secara konvensional, khususnya bagi pengembangan pertanian lahan marjinal. Dengan demikian, pencarian informasi dapat dilakukan secara offline maupun online baik untuk download informasi maupun upload informasi. Penguatan jaringan global merupakan strategi pengelolaan sumber daya informasi yang sangat berkaitan dengan unsur sumber daya teknologi. Hal yang paling penting sebagai upaya untuk pengembangan pembangunan pertanian adalah akses terhadap teknologi yaitu melalui jaringan global (internet).
7.1 Peran sumberdaya lahan dibidang pertanian.
Teknologi yang ada bergantung dari mekanisasi pertanian yang dibutuhkan oleh suatu lahan. Persoalan menjadi sedikit lebih rumit ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor eksogen dalam suatu sistem ekonomi --di sini berarti pengembangan kedua jenis teknologi merupakan produk atau hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi-- ataukah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor endogen suatu sistem ekonomi. Dalam suatu sistem perekonomian yang dinamis, perubahan harga permintaan produk dan harga penawaran faktor produksi tidaklah dapat dipisahkan. Misalnya, ketika permintaan terhadap bahan makanan naik karena naiknya jumlah penduduk atau meningkatnya pendapatan per kapita, permintaan terhadap faktor produksi tersebut ikut naik secara proporsional.
7.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya teknologi.
• Sistem alih teknologi lemah
• Penerapan teknologi kurang tepat sasaran
• Pemanfaatan teknologi informasi belum menyentuh petani
• Minat petani mencari informasi lemah
• Penggunaan media informasi pertanian belum meluas
7.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya teknologi
• Pemberian insentif kepada siswa yang ingin melanjutkan ke Fakultas Pertanian.
• Mendirikan organisasi yang memberi penyuluhan dan fasilitas kepada petani tentang introduksi teknologi-teknologi yang berkembang dalam pertanian.
8. Sumber Daya Management
Suatu ilmu atau cara bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Manajemen sumber daya manusia juga menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan yang baik.
Manajemen Sumber Daya Manusia diperlukan untuk meningkatkan efektivitas sumber daya manusia dalam organisasi. Tujuannya adalah memberikan kepada organisasi satuan kerja yang efektif. Untuk mencapai tujuan ini, studi tentang manajemen personalia akan menunjukkan bagaimana seharusnya perusahaan mendapatkan, mengembangkan, menggunakan, mengevaluasi, dan memelihara karyawan dalam jumlah (kuantitas) dan tipe (kualitas).
8.1 Peran sumberdaya management dibidang pertanian.
Di dalam pertanian proses suatu manajemen ,cukup berperan dari proses persiapan lahan,untuk memilih komoditas yang cocok dengan lahan sampai dengan proses pemasaran hasil. Dapat dilihat juga dari kinerja proses dan para pengambil keputusan dan para pelaksana ,sejauh mana mereka berhasil. Dari keputusan alokasi yang ada ,supaya dapat meminimalkan biaya dan memaksimalkan peruntungan mengatur kurang efisien.
8.2 Permasalahan yang terkait dengan sumberdaya management.
• Masalah Organisasi Petani
• Kurangnya sumber daya manusia yang kompeten.
8.3 Solusi yang ditawarkan untuk pemecahan masalah yang terkait dengan sumberdaya management
• Pengelolaan kepengurusan antar anggota petani secara jelas.
• Pembinaan sumber daya manusia secara intensif untuk menciptakan SDM yang competen dalam menjalankan sistem dalam organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Anonymous1. 2010. Kualitas SDM Pertanian Masih Rendah. http://metrotvnews.com/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Anonymous2. 2009. Mengenal Sumber Daya Alam Indonesia. http://www.abdi10.co.tv/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Anonymous3. 2011. SUMBERDAYA ALAM. http://file.upi.edu/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Apriyanto, A. 2011. Pembangunan Pertanian di Indonesia. http:// www.deptan.go.id/renbangtan/konsep_pembangunan_pertanian.pdf. Diunduh pada tanggal 6 April 2011
Budiyono, A. 2011. Pencemaran Udara : Dampak Pencemaran Udara Pada Lingkungan. http://www.perpustakaan.lapan.go.id/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Jusuf, J. 2011. Kelangkaan Air dan Makanan Ancam Sektor Pertanian. http://iklimkarbon.com/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Mahatva, A. 2010. KONSEP PENGENDALIAN OPT (ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Nawawi, G. 2001. FUNGSII DAN MANFAAT TANAH DAN PUPUK. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta
Notohadiprawiro, T. 2006. Pemanfaatan Lahan Basah : Kontroversi yang Tidak Ada Habisnya. http://soil.faperta.ugm.ac.id/. Diunduh pada tanggal 6 Maret 2011.
Odum, E.P. 1983. Basic Ecology. Saunders College Publishing. United States America
Palestine, D. 2010. Memajukan Pertanian dan Perkebunan. http://suarapembaca.detik.com/. Diakses tanggal 6 April 2011.
Setiawan, I. 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Setijati, D. 2010. Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan. LIPI Press. Jakarta
Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Rajawali Press. Jakarta
Soemarwoto, O. 2011. Hutan, Reboisasi/ Penghijauan, dan Air. http://www.unisosdem.org/. Diunduh pada tanggal 6 April 2011.
Syahyuti. 2006. Kebijakan Lahan Pertanian Abadi sulit di wujudkan, Buletin Analisis kebijakan pertanian, vol 4 no 2.juni 2006 : 96 - 108
Ulung Pamungkas. 2009. PEMETAAN SUMBER DAYA LAHAN. Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Sriwijaya. Palembang. Sumatra Selatan
Saturday, June 18, 2011
STRUKTUR PASAR
OLEH : DWI WAHYU SULISTYO UTOMO (0910480050)
Struktur pasar adalah karakteristik organisasi pasar yang mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Unsur-unsur struktur pasar meliputi: konsentrasi, differensiasi produk, ukuran perusahaan, Hambatan masuk, dan integrasi vertikal serta diversifikasi
1. Pasar Persaingan Sempurna
Jenis pasar persaingan sempurna terjadi ketika jumlah produsen sangat banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan jumlah konsumen yang banyak. Contoh produknya adalah seperti beras, gandum, batubara, kentang, dan lain-lain. Sifat-sifat pasar persaingan sempurna :
- Jumlah penjual dan pembeli banyak
- Barang yang dijual sejenis, serupa dan mirip satu sama lain
- Penjual bersifat pengambil harga (price taker)
- Harga ditentukan mekanisme pasar permintaan dan penawaran (demand and supply)
- Posisi tawar konsumen kuat
- Sulit memperoleh keuntungan di atas rata-rata
- Sensitif terhadap perubahan harga
- Mudah untuk masuk dan keluar dari pasar
2. Pasar Monopolistik
Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut berbeda-beda antara produsen yang satu dengan yang lain. Contoh produknya adalah seperti makanan ringan (snack), nasi goreng, pulpen, buku, dan sebagainya. Sifat-sifat pasar monopolistik :
- Untuk unggul diperlukan keunggulan bersaing yang berbeda
- Mirip dengan pasar persaingan sempurna
- Brand yang menjadi ciri khas produk berbeda-beda
- Produsen atau penjual hanya memiliki sedikit kekuatan merubah harga
- Relatif mudah keluar masuk pasar
3. Pasar Oligopoli
Pasar oligopoli adalah suatu bentuk persaingan pasar yang didominasi oleh beberapa produsen atau penjual dalam satu wilayah area. Contoh industri yang termasuk oligopoli adalah industri semen di Indonesia, industri mobil di Amerika Serikat, dan sebagainya. Sifat-sifat pasar oligopoli :
- Harga produk yang dijual relatif sama
- Pembedaan produk yang unggul merupakan kunci sukses
- Sulit masuk ke pasar karena butuh sumber daya yang besar
- Perubahan harga akan diikuti perusahaan lain
4. Pasar Monopoli
Pasar monopoli akan terjadi jika di dalam pasar konsumen hanya terdiri dari satu produsen atau penjual. Contohnya seperti microsoft windows, perusahaan listrik negara (pln), perusahaan kereta api (perumka), dan lain sebagainya. Sifat-sifat pasar monopoli :
- Hanya terdapat satu penjual atau produsen
- Harga dan jumlah kuantitas produk yang ditawarkan dikuasai oleh perusahaan monopoli
- Umumnya monopoli dijalankan oleh pemerintah untuk kepentingan hajat hidup orang banyak
- Sangat sulit untuk masuk ke pasar karena peraturan undang-undang maupun butuh sumber daya yang sulit didapat
- Hanya ada satu jenis produk tanpa adanya alternatif pilihan
- Tidak butuh strategi dan promosi untuk sukses
Daftar Pustaka
Rahardja, Prathama, and Mandala Manurung. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi). Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008.
Sicat, Gerardo P., dan H. W. Arndt. Ilmu Ekonomi Untuk Konteks Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1991.
Gumanti, Tatang Ari, and Elok Sri Utami. “Bentuk Pasar Efisien dan Pengujiannya.” Jurnal Akuntansi dan Keungan, 2002: 54-68.
Struktur pasar adalah karakteristik organisasi pasar yang mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Unsur-unsur struktur pasar meliputi: konsentrasi, differensiasi produk, ukuran perusahaan, Hambatan masuk, dan integrasi vertikal serta diversifikasi
1. Pasar Persaingan Sempurna
Jenis pasar persaingan sempurna terjadi ketika jumlah produsen sangat banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan jumlah konsumen yang banyak. Contoh produknya adalah seperti beras, gandum, batubara, kentang, dan lain-lain. Sifat-sifat pasar persaingan sempurna :
- Jumlah penjual dan pembeli banyak
- Barang yang dijual sejenis, serupa dan mirip satu sama lain
- Penjual bersifat pengambil harga (price taker)
- Harga ditentukan mekanisme pasar permintaan dan penawaran (demand and supply)
- Posisi tawar konsumen kuat
- Sulit memperoleh keuntungan di atas rata-rata
- Sensitif terhadap perubahan harga
- Mudah untuk masuk dan keluar dari pasar
2. Pasar Monopolistik
Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut berbeda-beda antara produsen yang satu dengan yang lain. Contoh produknya adalah seperti makanan ringan (snack), nasi goreng, pulpen, buku, dan sebagainya. Sifat-sifat pasar monopolistik :
- Untuk unggul diperlukan keunggulan bersaing yang berbeda
- Mirip dengan pasar persaingan sempurna
- Brand yang menjadi ciri khas produk berbeda-beda
- Produsen atau penjual hanya memiliki sedikit kekuatan merubah harga
- Relatif mudah keluar masuk pasar
3. Pasar Oligopoli
Pasar oligopoli adalah suatu bentuk persaingan pasar yang didominasi oleh beberapa produsen atau penjual dalam satu wilayah area. Contoh industri yang termasuk oligopoli adalah industri semen di Indonesia, industri mobil di Amerika Serikat, dan sebagainya. Sifat-sifat pasar oligopoli :
- Harga produk yang dijual relatif sama
- Pembedaan produk yang unggul merupakan kunci sukses
- Sulit masuk ke pasar karena butuh sumber daya yang besar
- Perubahan harga akan diikuti perusahaan lain
4. Pasar Monopoli
Pasar monopoli akan terjadi jika di dalam pasar konsumen hanya terdiri dari satu produsen atau penjual. Contohnya seperti microsoft windows, perusahaan listrik negara (pln), perusahaan kereta api (perumka), dan lain sebagainya. Sifat-sifat pasar monopoli :
- Hanya terdapat satu penjual atau produsen
- Harga dan jumlah kuantitas produk yang ditawarkan dikuasai oleh perusahaan monopoli
- Umumnya monopoli dijalankan oleh pemerintah untuk kepentingan hajat hidup orang banyak
- Sangat sulit untuk masuk ke pasar karena peraturan undang-undang maupun butuh sumber daya yang sulit didapat
- Hanya ada satu jenis produk tanpa adanya alternatif pilihan
- Tidak butuh strategi dan promosi untuk sukses
Daftar Pustaka
Rahardja, Prathama, and Mandala Manurung. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi). Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008.
Sicat, Gerardo P., dan H. W. Arndt. Ilmu Ekonomi Untuk Konteks Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1991.
Gumanti, Tatang Ari, and Elok Sri Utami. “Bentuk Pasar Efisien dan Pengujiannya.” Jurnal Akuntansi dan Keungan, 2002: 54-68.
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK, TARIF DAN KUOTA EKSPOR DAN IMPOR TEMBAKAU INDONESIA
OLEH : DWI WAHYU SULISTYO UTOMO (0910480050)
A. PENDAHULUAN
Peran tembakau dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari beberapa indikator seperti perannya dalam penerimaan negara (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Industri tembakau secara luas mencakup sektor bahan baku primer daun tembakau dan cengkeh dan industri pengolahan rokok. Berdasarkan hasil analisa Input-Output tahun 2005 industri tembakau memberikan kontribusi 1,66 persen terhadap total PDB nasional. Kontribusi terbesar berasal dari Industri rokok sebesar 1,56 persen, sedangkan sektor bahan baku tembakau dan cengkeh hanya berkontribusi masing masing sebesar 0,036 persen dan 0,067 persen. Namun demikian industri rokok merupakan salah satu industri pertanian (agroindustri) yang menonjol di Indonesia (Rachmat, 2010). Terhadap Agroindustri tersebut peran industri rokok mencapai 13,13 persen (Tabel 1).
Peran bahan baku primer tembakau dan cengkeh terhadap total perkebunan dan pertanian relatif kecil. Nilai produksi usahatani tembakau dan cengkeh terhadap nilai produk perkebunan masing-masing sebedar 1,54 persen dan 2,83 persen; sementara terhadap nilai produk pertanian masing-masing hanya 0,27 persen dan 0,49 persen (Tabel 2). Kondisi ini sejalan dengan kecilnya peran areal pertanaman dan jumlah petani tembakau di Indonesia. Dalam tahun 2007 luas areal tembakau mencapai 198 ribu hektar (sekitar 0,9% total areal perkebunan Indonesia), sementara jumlah petani yang terlibat dalam usahatani tembakau hanya 554,5 ribu rumah tangga petani atau sekitar 8,0 persen dibandingkan dengan rumah tangga petani pekebun sebesar 6880 ribu RT, atau hanya 2,1 persen dari total rumah tangga pertanian sebesar 25 579 ribu RT (BPS, 2008).
Dalam peranannya terhadap lapangan kerja, secara keseluruhan industri tembakau menyerap tenaga kerja pada industri tembakau sekitar 4,154 juta tenaga kerja, dimana 93,77 persen diserap pada kegiatan usahatani termasuk pasca panen, sedangkan tenaga kerja di sektor pengolahan rokok hanya menyerap sekitar 6,23 persen (Tabel 3).
Hasil studi Santoso et al. (2009) menunjukkan bahwa nilai pengganda pendapatan sektor industri rokok memiliki nilai terkecil kedua dibandingkan dengan pengganda agroindustri lainnya. Nilai pengganda sebesar 0,127 menunjukkan kondisi bahwa apabila terjadi kenaikan output pertanian sebesar Rp 1 juta akan menyebabkan kenaikan pendapatan sektor perekonomian sebesar Rp 127 juta. Kondisi ini karena industri rokok merupakan industri tunggal yang tidak keterkaitannya kecil. Selanjutnya hasil kajian Sudaryanto et al. (2009) dalam perekonomian nasional, peranan agribisnis tembakau dan industri rokok dalam penciptaan nilai output, nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja kurang signifikan, namun kedua sektor tersebut mempunyai angka pengganda (multiplier effect) output. Angka pengganda untuk tenaga kerja agribisnis tembakau lebih besar daripada industri rokok. Hal ini terjadi karena dalam perdagangan internasional, komoditas tembakau dan rokok lebih banyak menguras dari pada menghasilkan devisa negara, sedangkan agribisnis tembakau mampu menarik sektor hulu dan mendorong sektor hilir untuk berkembang, sementara industri rokok hanya mampu mendorong sektor hilir saja (Rachmat, 2010).
B. PAJAK TEMBAKAU INDONESIA
Berdasarkan pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, bahwa yang dimaksud dengan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang yang befungsi untuk menjamin peningkatan penerimaan negara, sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan peningkatan pembiayaan pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan (Suryanto, 2008).
Peran komoditas tembakau yang cukup nyata dalam perekonomian nasional adalah sebagai sumber penerimaan negara dari cukai. Nilai penerimaan dari cukai yang dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu dari Rp 11,1 triliun pada tahun 2001 menjadi sekitar Rp 47,0 triliun pada tahun 2008, suatu peningkatan rata rata 53 persen per tahun (Tabel 4). Penerimaan nilai cukai sebesar 47 triliun pada tahun 2008 merupakan nilai satu persen dari penerimaan total negara. Peningkatan cukai tembakau tersebut terutama karena kebijakan peningkatan harga jual eceran rokok tarif cukai hasil tembakau, sementara produksi rokok memperlihatkan kecenderungan menurun (Rachmat, 2010).
Indonesia saat ini menerapkan dua jenis sistem cukai tembakau yakni ad valorem (berdasarkan nilai - value) dan cukai spesifik (menurut kuantitas). Kedua sistem tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan dalam upaya meningkatkan penerimaan negara, administrasi dan promosi peningkatan harga.
Sistem cukai spesifik memiliki kelebihan dalam konteks meningkatkan penerimaan negara karena cukai tersebut bertujuan untuk melindungi penerimaan negara dari perang harga atau penurunan harga. Cukai spesifik dapat menjadi acuan untuk memperkirakan penerimaan negara apabila jumlah pembelian suatu produk didasarkan atas tinggi rendahnya kualitas produk. Sistem cukai spesifik juga memberikan insentif untuk meningkatkan harga rokok karena setiap kenaikan harga akan kembali kepada perusahaan dalam bentuk penerimaan. Sebaliknya, cukai ad valorem memiliki efek pengganda (multiplier effect). Cukai ini dikenakan pada nilai produk, sehingga apabila ada kenaikan harga, maka sebagian harga tersebut (yang dikenai tarif ad valorem) akan kembali kepada pemerintah dalam bentuk penerimaan cukai. Pada saat yang sama, setiap penurunan harga akan disubsidi secara efektif oleh pemerintah. Sistem ini tidak menjamin bahwa pemerintah mendapat penerimaan yang tinggi karena cukai ad valorem dipengaruhi oleh inflasi dan perang arga. Efek pengganda dari cukai ad valorem ini juga menurunkan insentif bagi perusahaan untuk memperbaiki kualitas produknya, dan hanya akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga. Sebaliknya, cukai spesifik berpeluang meningkatkan konsumsi rokok merek berkualitas tinggi.
Penetapan pajak/ cukai umumnya dalam bentuk pajak penjualan ad valorem sebagaimana juga diterapkan di Indonesia. Cukai ad valorem memberikan proteksi yang lebih besar kepada produsen dalam negeri yang memproduksi rokok yang relatif “murah” (kualitas “rendah”). Tetapi ketika terdapat perbedaan kualitas yang cukup besar antara produk dalam negeri dan produk impor , cukai impor dapat diterapkan pada produk impor untuk menekan efek dari dampak negatif cukai spesifik terhadap penurunan harga atau kualitas produksi domestik. Ketika bea masuk diterapkan untuk proteksi industri, cukai spesifik dapat dikenakan pada produk domestik dan produk impor .
Rataan dunia pajak rokok sebesar 41,81 persen dari harga rokok dengan kisaran antara 2 persen sampai 84 persen dari harga rokok (Tabel 7). Pajak/cukai rokok terendah (2%) dijumpai di Benin, S. Vincent dan Libia; sedangkan negara dengan pajak rokok tertinggi (84%) dijumpai di negara Niue, kawasan Pasifik Barat. Secara umum kawasan dengan pajak rokok tertinggi terjadi di Asia Tenggara dengan dipelopori oleh Thailand yang menerapkan pajak rokok sebesar 79 persen dari harga rokok. Indonesia menerapkan pajak rokok sebesar 22,0 persen, relatif rendah dibandingkan dengan rata rata dunia. Di kawasan Asia tenggara pajak rokok di Indonesia paling rendah, sebaliknya Thailand menerapkan pajak rokok yang tinggi untuk melindungi rakyatnya (Rachmat, 2010).
Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai sangat tinggi dan terealisasi dengan baik. Departemen keuangan sudah bekerja dengan baik sehingga dana tersebut mendapatkan angka yang baik. Namun, tanpa disadari oleh pemerintah kebijakan tersebut dapat menyulitkan Industri Hasil Tembakau untuk bertahan bahkan memancing tidakan kriminal oleh oknum tak bertanggungjawab.
Kerugian negara dari tindak pidana terkait pita cukai palsu yang ditangani Ditjen Bea dan Cukai selama 2009 mencapai sekitar Rp. 1,5 triliun. Kerugian tersebut adalah dari penggerebekan percetakan pita cukai palsu yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Peredaran pita cukai palsu tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun dengan melihat tabel di bawah ini. Apabila dilihat dari cara memproduksi pita cukai tersebut adalah dengan menjalankan kegiatan pita cukai palsu secara tertutup dengan kedok kegiatan penjualan.
Disini Departemen Perindustrian dan Perdagangan lebih berperan dalam menjaga kestabilan penerimaan negara dalam hal cukai hasil tembakau. Dapat dilihat pada Tabel 5 di atas bahwa proses law enforcement begitu gencar dilakukan oleh Dirjend Bea dan Cukai bersinergi dengan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) dalam melakukan pengawasan pita cukai palsu tersebut.
C.TARIF TEMBAKAU INDONESIA
Produk tembakau di Indonesia telah dikenai cukai sejak awal tahun 1900-an. Pada tahun 1932, tingkat cukai diberlakukan seragam untuk semua produk tembakau (20 persen). Sejak tahun 1936, sistem cukai rokok progresif mulai diberlakukan berdasarkan jenis produk, yaitu rokok kretek tangan (tembakau dan rokok kretek), klobot (rokok kretek yang dibungkus daun jagung), klembak kemenyan (rokok kretek yang diberikan kemenyan), dan rokok putih (tembakau tanpa campuran). Tarif cukai yang berbeda untuk rokok kretek tangan dan rokok kretek mesin dikenakan setelah mekanisasi industri rokok. Pada tahun 1970-an, sistem cukai tersebut dimodifikasi berdasarkan volume produksi dan jenis produk dimana tarif cukai tertinggi dikenakan pada perusahaan dengan skala produksi terbesar. Struktur cukai tembakau terus berlanjut berdasarkan jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan tingkat produksi perusahaan yang diukur melalui jumlah pemesanan pita cukai.
Penerapan cukai tembakau pada masa pasca reformasi atau dapat disebut pada saat sekarang ini ditetapkan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal yang mengatur tentang cukai tembakau adalah terdapat pada Pasal 5, yang menyebutkan bahwa :
Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi :
a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
• 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
• 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
b. Untuk yang diimpor :
• 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
• 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
Penetapan tarif cukai tembakau pada peraturan ini ditetapkan berdasarkan Harga Jual Eceran (HJE).
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 89/KMK.05/2000
HJE atau Harga Jual Eceran menunjukkan harga pabrik yang didalamnya memasukkan komponen biaya produksi, keuntungan produsen dan distributor , dan cukai. Berdasarkan formulir dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, setiap perusahaan melaporkan biaya seluruh bahan baku dan biaya produksi (tembakau, cengkeh, kertas, transportasi, bungkus, kemasan, dll) untuk setiap jenis merek rokok yang diproduksi, agar dapat diketahui harga dasarnya (Lampiran 3.1). Cukai ad valorem, pajak pertambahan nilai (PPN - VAT), dan cukai spesifik dikenakan pada harga dasar . Untuk PPN dikenakan tarif tetap (flat rate) sebesar 8,4 persen. Perusahaan kemudian menambahkan laba perusahaan (untuk para distributor , agen, dan pengecer) dan biaya produksi untuk menghitung HJE setiap jenis merek rokok. Berdasarkan hasil diskusi informal dalam penulisan laporan ini, laba dan biaya transaksi dimasukan dalam perhitungan HJE sebelum cukai ditetapkan. HJE dalam tabel berikut merupakan harga minimum karena nilainya merupakan batas bawah dari rentang harga setiap merek rokok.
Pada tahun 2007, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin dan rokok putih ditetapkan antara 20 persen sampai 40 persen, tergantung pada skala produksi. Selain itu, cukai per batang untuk pertama kalinya dikenakan, yang juga bervariasi menurut jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan skala produksi. Pada tahun 2008, cukai ad valorem diturunkan dan cukai spesifik per batang menjadi lebih besar . Cukai per batang menjadi Rp 35 untuk semua jenis rokok dengan pengecualian untuk rokok kretek tangan yang diproduksi pada skala kecil (Rp 30). Sejak tahun 2000, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin dan putih telah seragam; tetapi peraturan yang dikeluarkan pada tahun 2008 memberlakukan kembali pembedaan cukai ad valorem untuk jenis rokok tersebut. Nilai minimum (batas bawah) HJE dinaikkan sebesar 9 persen untuk perusahaan rokok yang berada dalam skala produksi besar , dan bagi skala produksi yang terkecil diturunkan sebesar 15 persen.
Untuk rokok kretek tangan (SKT), terdapat beberapa perbedaan antara peraturan tahun 2007 dengan 2008. Pada jenis rokok ini (SKT), diberikan kategori baru yaitu Sigaret Kretek T angan Filter (SKTF). Jumlah skala produksi untuk SKT dikurangi dari empat menjadi tiga. Skala produksi IIIA dan IIIB digabung menjadi hanya golongan III (lihat T abel 3.1). SKT tanpa filter , tarif ad valoremnya diturunkan. Untuk produsen SKT terkecil, HJE diturunkan sebesar 38 persen dan tarif ad valorem dihilangkan sama sekali. T etapi, tarif ad valorem untuk SKTF diseragamkan dengan tarif SKM. Perubahan yang dianggap paling penting adalah pemberlakuan cukai per batang (cukai spesifik) yang seragam sebesar Rp 35 untuk semua kategori produksi, dengan pengecualian pada tarif SKT yang lebih rendah (Rp 30) bagi perusahaan dengan produksi kurang atau sama dengan 500 juta batang per tahun.
Sama seperti sebelumnya, produk tembakau lain (HTPL) yang diproduksi pada skala kecil dikenakan tarif cukai rendah. Produk ini meliputi rokok klobot, klembak kemenyan, rokok putih tangan (tembakau tanpa campuran), cerutu, dan tembakau iris. Selain itu, terdapat penyesuaian dalam skala produksi untuk rokok jenis lain dan daun tembakau.
Untuk memenuhi target penerimaan cukai, Departemen Keuangan melakukan penyesuaian terhadap tarif cukai ad valorem, cukai per batang, dan cut off point untuk skala produksi perusahaan, serta jumlah perusahaan dengan skala produksi itu. Penghitungan HJE didasarkan pada biaya produksi perusahaan tetapi bisa dimodifikasi secara terpisah dari skala cukai oleh Departemen Keuangan, seperti yang terlihat pada T abel 3.1. Dalam satu tahun komponen-komponen tersebut dapat disesuaikan satu kali atau lebih, atau tidak sama sekali pada produk tembakau atau skala produksi tertentu. T etapi untuk produk rokok linting tangan dan perusahaan berskala kecil secara konsisten terus menikmati tarif cukai yang lebih rendah.
Perubahan tarif ad valorem untuk SKM, SPM, SKT , dan produk tembakau lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.2. Antara tahun 1996 sampai 1999, pemerintah melakukan penyesuaian satu kali setiap tahunnya terhadap penggolongan cukai tembakau, dan penyesuaian lebih dari satu kali dilakukan antara tahun 2000 dan 2001. Sementara untuk SKT dan produk rokok lainnya, tarif ad valorem tidak mengalami perubahan selama tahun 2002 sampai 2007. Namun, penyesuaian tetap dilakukan terhadap HJE. Pada tahun 2001, HJE yang seragam dikenakan pada produk SKM dan SPM untuk seluruh kategori skala produksi, tetapi setelah satu tahun, sistem ini dikembalikan ke sistem lama dengan HJE digolongkan menurut skala produksi.
D. QUOTA EKSPOR DAN IMPOR TEMBAKAU INDONESIA
Dalam kegiatan perdagangan internasional, Indonesia melakukan ekspor dan impor tembakau dan produk -produknya. Selama 2000 -2006 nilai ekspor dan nilai impor keduanya berfluktuasi dengan trend yang meningkat masing-masing 6,82 persen dan 7,64 persen per tahun ( tabel 6). Selama periode tersebut, secara konsisten Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan cukup besar dengak laju kenaikan rata -rata 8,68 persen per tahun. Defisit neraca perdagangan tersebut mengindikasikan bahwa tembakau dan produk tembakau bukan merupakan sumber devisa negara karena impor tembakau sebagai bahan baku industri rokok dan impor produk tembakau (rokok) untuk konsumsi langsung bersifat menguras devisa negara. Pada tahun 2006 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 82,13 juta yang merupakan 796,19 persen dari nilai ekspor (Prajogo, 2008.).
Konsumsi rokok nasional meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta berkembangnya industri rokok. Peningkatan permintaan tembakau domestik sudah tidak dapat dipenuhi lagi dari dengan peningkatan produksi domestik, sehingga sebagian kebutuhan tembakau kita harus dilakukan impor dengan tendensi yang semakin meningkat, meskipun posisi Indonesia saat ini adalah net eksportir (Saptana, 2001).
Berdasarkan Tabel 3 memberikan gambaran sebagai berikut : (1) rata-rata volume ekspor pada periode (1990-2000) mencapai 59.613 ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun tembakau kering mencapai 32.198 ton; (2) perkembangan volume ekspor tembakau meningkat sebesar 1.49 %/tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6.95 %/tahun ; (3) Sementara itu perkembangan dalam nilai ekspor dalam bentuk tembakau sebesar 2.27 % per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5.78%/tahun; (4) rata-rata volume impor tembakau periode (1990-2000) mencapai 38.226 ton per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 34.834 ton per tahun; (5) perkembangan impor tembakau selama periode tersebut meningkat sebesar 3.68 %/tahun dan dalam bentuk daun kering sebesar 2.68 %/tahun;(6) Sementara itu perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk tembakau 8.61 %/tahun dan tembakau daun kering 4.67 %/tahun; (7) Jika di bandingkan dengan perkembangan luas areal, produksi, dan produktivitas tembakau dalam negeri maka Indonesia akan mengalami masalah yang serius, karena disatu sisi menghadapi persaingan global dan disisi lain adanya tuntutan dari lembaga kesehatan dan LSM untuk membatasi produksi rokok; (8) Adanya perkembangan nilai ekspor yang lebih rendah dibandingkan nilai importnya menunjukkan bahwa tembakau Indonesia mengalami penurunan kualitas dan dayasaingnya di pasar dunia (Sudaryanto, 2009).
E. KESIMPULAN
Peran tembakau dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari beberapa indikator seperti perannya dalam penerimaan negara (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Industri tembakau secara luas mencakup sektor bahan baku primer daun tembakau dan cengkeh dan industri pengolahan rokok. Rata-rata volume ekspor pada periode (1990-2000) mencapai 59.613 ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun tembakau kering mencapai 32.198 ton. Perkembangan volume ekspor tembakau meningkat sebesar 1.49 %/tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6.95 %/tahun. Sementara itu perkembangan dalam nilai ekspor dalam bentuk tembakau sebesar 2.27 % per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5.78%/tahun. Rata-rata volume impor tembakau periode (1990-2000) mencapai 38.226 ton per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 34.834 ton per tahun. Perkembangan impor tembakau selama periode tersebut meningkat sebesar 3.68 %/tahun dan dalam bentuk daun kering sebesar 2.68 %/tahun. Sementara itu perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk tembakau 8.61 %/tahun dan tembakau daun kering 4.67 %/tahun. Dengan adanya fenomena ekspor dan impor tembakau pemerintah menetapkan kebijakan – kebijakan berupa pajak, tarif dan kuota ekspor dan impor untuk melindungi pasar domestik. Selain itu juga untuk menjaga serta menstabilkan harga di pasaran dalam negri dan juga mendapat pemasukan untuk negara.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia, dalam angka. CV. Dua Marga Jaya. Jakarta.
Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan A., dan Setyonaluri, D. 2008. Tobacco Economic in Indonesia. Laporan Penelitian. Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Prajogo U. Hadi dan Supena Friyatno. 2008. PERANAN SEKTOR TEMBAKAU DAN INDUSTRI ROKOK DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS TABEL I -O TAHUN 2000. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Rachmat, Muchjidin. 2010. Development of National Tobacco Economy: Developed Country Policy and Lesson Learned for Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Santoso, K., Januar, J., Hartadi, R., Wardhono, A., Rondhi, M. 2009. Tembakau dan Industri Rokok: Kontribusi Terhadap Perekonomian Nasional, Serapan Tenaga Kerja, Perilaku Konsumsi, dan Perspektif Petani. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jember. Jawa Timur.
Saptana, Supena Friyanto dan TRri Bastuti P. 2001. ANALISIS DAYASAING KOMODITI TEMBAKAU RAKYAT DI KLATEN JAWA TENGAH. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sudaryanto, T., Prajogo U. Hadi, S. Friyatna. 2009. “Analisis Prospek Ekonomi Tembakau di Pasar Dunia dan Refleksinya di Indonesia Tahun 2010”. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.
Suryanto, Basuki. 2008. Fungsi Cukai. Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai. Kasubbid Program Pusdiklat Bea dan Cukai.
WHO. 2008. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic. The Manpower Package. World Health Organization.
A. PENDAHULUAN
Peran tembakau dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari beberapa indikator seperti perannya dalam penerimaan negara (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Industri tembakau secara luas mencakup sektor bahan baku primer daun tembakau dan cengkeh dan industri pengolahan rokok. Berdasarkan hasil analisa Input-Output tahun 2005 industri tembakau memberikan kontribusi 1,66 persen terhadap total PDB nasional. Kontribusi terbesar berasal dari Industri rokok sebesar 1,56 persen, sedangkan sektor bahan baku tembakau dan cengkeh hanya berkontribusi masing masing sebesar 0,036 persen dan 0,067 persen. Namun demikian industri rokok merupakan salah satu industri pertanian (agroindustri) yang menonjol di Indonesia (Rachmat, 2010). Terhadap Agroindustri tersebut peran industri rokok mencapai 13,13 persen (Tabel 1).
Peran bahan baku primer tembakau dan cengkeh terhadap total perkebunan dan pertanian relatif kecil. Nilai produksi usahatani tembakau dan cengkeh terhadap nilai produk perkebunan masing-masing sebedar 1,54 persen dan 2,83 persen; sementara terhadap nilai produk pertanian masing-masing hanya 0,27 persen dan 0,49 persen (Tabel 2). Kondisi ini sejalan dengan kecilnya peran areal pertanaman dan jumlah petani tembakau di Indonesia. Dalam tahun 2007 luas areal tembakau mencapai 198 ribu hektar (sekitar 0,9% total areal perkebunan Indonesia), sementara jumlah petani yang terlibat dalam usahatani tembakau hanya 554,5 ribu rumah tangga petani atau sekitar 8,0 persen dibandingkan dengan rumah tangga petani pekebun sebesar 6880 ribu RT, atau hanya 2,1 persen dari total rumah tangga pertanian sebesar 25 579 ribu RT (BPS, 2008).
Dalam peranannya terhadap lapangan kerja, secara keseluruhan industri tembakau menyerap tenaga kerja pada industri tembakau sekitar 4,154 juta tenaga kerja, dimana 93,77 persen diserap pada kegiatan usahatani termasuk pasca panen, sedangkan tenaga kerja di sektor pengolahan rokok hanya menyerap sekitar 6,23 persen (Tabel 3).
Hasil studi Santoso et al. (2009) menunjukkan bahwa nilai pengganda pendapatan sektor industri rokok memiliki nilai terkecil kedua dibandingkan dengan pengganda agroindustri lainnya. Nilai pengganda sebesar 0,127 menunjukkan kondisi bahwa apabila terjadi kenaikan output pertanian sebesar Rp 1 juta akan menyebabkan kenaikan pendapatan sektor perekonomian sebesar Rp 127 juta. Kondisi ini karena industri rokok merupakan industri tunggal yang tidak keterkaitannya kecil. Selanjutnya hasil kajian Sudaryanto et al. (2009) dalam perekonomian nasional, peranan agribisnis tembakau dan industri rokok dalam penciptaan nilai output, nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja kurang signifikan, namun kedua sektor tersebut mempunyai angka pengganda (multiplier effect) output. Angka pengganda untuk tenaga kerja agribisnis tembakau lebih besar daripada industri rokok. Hal ini terjadi karena dalam perdagangan internasional, komoditas tembakau dan rokok lebih banyak menguras dari pada menghasilkan devisa negara, sedangkan agribisnis tembakau mampu menarik sektor hulu dan mendorong sektor hilir untuk berkembang, sementara industri rokok hanya mampu mendorong sektor hilir saja (Rachmat, 2010).
B. PAJAK TEMBAKAU INDONESIA
Berdasarkan pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, bahwa yang dimaksud dengan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang yang befungsi untuk menjamin peningkatan penerimaan negara, sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan peningkatan pembiayaan pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan (Suryanto, 2008).
Peran komoditas tembakau yang cukup nyata dalam perekonomian nasional adalah sebagai sumber penerimaan negara dari cukai. Nilai penerimaan dari cukai yang dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu dari Rp 11,1 triliun pada tahun 2001 menjadi sekitar Rp 47,0 triliun pada tahun 2008, suatu peningkatan rata rata 53 persen per tahun (Tabel 4). Penerimaan nilai cukai sebesar 47 triliun pada tahun 2008 merupakan nilai satu persen dari penerimaan total negara. Peningkatan cukai tembakau tersebut terutama karena kebijakan peningkatan harga jual eceran rokok tarif cukai hasil tembakau, sementara produksi rokok memperlihatkan kecenderungan menurun (Rachmat, 2010).
Indonesia saat ini menerapkan dua jenis sistem cukai tembakau yakni ad valorem (berdasarkan nilai - value) dan cukai spesifik (menurut kuantitas). Kedua sistem tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan dalam upaya meningkatkan penerimaan negara, administrasi dan promosi peningkatan harga.
Sistem cukai spesifik memiliki kelebihan dalam konteks meningkatkan penerimaan negara karena cukai tersebut bertujuan untuk melindungi penerimaan negara dari perang harga atau penurunan harga. Cukai spesifik dapat menjadi acuan untuk memperkirakan penerimaan negara apabila jumlah pembelian suatu produk didasarkan atas tinggi rendahnya kualitas produk. Sistem cukai spesifik juga memberikan insentif untuk meningkatkan harga rokok karena setiap kenaikan harga akan kembali kepada perusahaan dalam bentuk penerimaan. Sebaliknya, cukai ad valorem memiliki efek pengganda (multiplier effect). Cukai ini dikenakan pada nilai produk, sehingga apabila ada kenaikan harga, maka sebagian harga tersebut (yang dikenai tarif ad valorem) akan kembali kepada pemerintah dalam bentuk penerimaan cukai. Pada saat yang sama, setiap penurunan harga akan disubsidi secara efektif oleh pemerintah. Sistem ini tidak menjamin bahwa pemerintah mendapat penerimaan yang tinggi karena cukai ad valorem dipengaruhi oleh inflasi dan perang arga. Efek pengganda dari cukai ad valorem ini juga menurunkan insentif bagi perusahaan untuk memperbaiki kualitas produknya, dan hanya akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga. Sebaliknya, cukai spesifik berpeluang meningkatkan konsumsi rokok merek berkualitas tinggi.
Penetapan pajak/ cukai umumnya dalam bentuk pajak penjualan ad valorem sebagaimana juga diterapkan di Indonesia. Cukai ad valorem memberikan proteksi yang lebih besar kepada produsen dalam negeri yang memproduksi rokok yang relatif “murah” (kualitas “rendah”). Tetapi ketika terdapat perbedaan kualitas yang cukup besar antara produk dalam negeri dan produk impor , cukai impor dapat diterapkan pada produk impor untuk menekan efek dari dampak negatif cukai spesifik terhadap penurunan harga atau kualitas produksi domestik. Ketika bea masuk diterapkan untuk proteksi industri, cukai spesifik dapat dikenakan pada produk domestik dan produk impor .
Rataan dunia pajak rokok sebesar 41,81 persen dari harga rokok dengan kisaran antara 2 persen sampai 84 persen dari harga rokok (Tabel 7). Pajak/cukai rokok terendah (2%) dijumpai di Benin, S. Vincent dan Libia; sedangkan negara dengan pajak rokok tertinggi (84%) dijumpai di negara Niue, kawasan Pasifik Barat. Secara umum kawasan dengan pajak rokok tertinggi terjadi di Asia Tenggara dengan dipelopori oleh Thailand yang menerapkan pajak rokok sebesar 79 persen dari harga rokok. Indonesia menerapkan pajak rokok sebesar 22,0 persen, relatif rendah dibandingkan dengan rata rata dunia. Di kawasan Asia tenggara pajak rokok di Indonesia paling rendah, sebaliknya Thailand menerapkan pajak rokok yang tinggi untuk melindungi rakyatnya (Rachmat, 2010).
Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai sangat tinggi dan terealisasi dengan baik. Departemen keuangan sudah bekerja dengan baik sehingga dana tersebut mendapatkan angka yang baik. Namun, tanpa disadari oleh pemerintah kebijakan tersebut dapat menyulitkan Industri Hasil Tembakau untuk bertahan bahkan memancing tidakan kriminal oleh oknum tak bertanggungjawab.
Kerugian negara dari tindak pidana terkait pita cukai palsu yang ditangani Ditjen Bea dan Cukai selama 2009 mencapai sekitar Rp. 1,5 triliun. Kerugian tersebut adalah dari penggerebekan percetakan pita cukai palsu yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Peredaran pita cukai palsu tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun dengan melihat tabel di bawah ini. Apabila dilihat dari cara memproduksi pita cukai tersebut adalah dengan menjalankan kegiatan pita cukai palsu secara tertutup dengan kedok kegiatan penjualan.
Disini Departemen Perindustrian dan Perdagangan lebih berperan dalam menjaga kestabilan penerimaan negara dalam hal cukai hasil tembakau. Dapat dilihat pada Tabel 5 di atas bahwa proses law enforcement begitu gencar dilakukan oleh Dirjend Bea dan Cukai bersinergi dengan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) dalam melakukan pengawasan pita cukai palsu tersebut.
C.TARIF TEMBAKAU INDONESIA
Produk tembakau di Indonesia telah dikenai cukai sejak awal tahun 1900-an. Pada tahun 1932, tingkat cukai diberlakukan seragam untuk semua produk tembakau (20 persen). Sejak tahun 1936, sistem cukai rokok progresif mulai diberlakukan berdasarkan jenis produk, yaitu rokok kretek tangan (tembakau dan rokok kretek), klobot (rokok kretek yang dibungkus daun jagung), klembak kemenyan (rokok kretek yang diberikan kemenyan), dan rokok putih (tembakau tanpa campuran). Tarif cukai yang berbeda untuk rokok kretek tangan dan rokok kretek mesin dikenakan setelah mekanisasi industri rokok. Pada tahun 1970-an, sistem cukai tersebut dimodifikasi berdasarkan volume produksi dan jenis produk dimana tarif cukai tertinggi dikenakan pada perusahaan dengan skala produksi terbesar. Struktur cukai tembakau terus berlanjut berdasarkan jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan tingkat produksi perusahaan yang diukur melalui jumlah pemesanan pita cukai.
Penerapan cukai tembakau pada masa pasca reformasi atau dapat disebut pada saat sekarang ini ditetapkan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal yang mengatur tentang cukai tembakau adalah terdapat pada Pasal 5, yang menyebutkan bahwa :
Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi :
a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
• 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
• 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
b. Untuk yang diimpor :
• 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
• 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
Penetapan tarif cukai tembakau pada peraturan ini ditetapkan berdasarkan Harga Jual Eceran (HJE).
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 89/KMK.05/2000
HJE atau Harga Jual Eceran menunjukkan harga pabrik yang didalamnya memasukkan komponen biaya produksi, keuntungan produsen dan distributor , dan cukai. Berdasarkan formulir dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, setiap perusahaan melaporkan biaya seluruh bahan baku dan biaya produksi (tembakau, cengkeh, kertas, transportasi, bungkus, kemasan, dll) untuk setiap jenis merek rokok yang diproduksi, agar dapat diketahui harga dasarnya (Lampiran 3.1). Cukai ad valorem, pajak pertambahan nilai (PPN - VAT), dan cukai spesifik dikenakan pada harga dasar . Untuk PPN dikenakan tarif tetap (flat rate) sebesar 8,4 persen. Perusahaan kemudian menambahkan laba perusahaan (untuk para distributor , agen, dan pengecer) dan biaya produksi untuk menghitung HJE setiap jenis merek rokok. Berdasarkan hasil diskusi informal dalam penulisan laporan ini, laba dan biaya transaksi dimasukan dalam perhitungan HJE sebelum cukai ditetapkan. HJE dalam tabel berikut merupakan harga minimum karena nilainya merupakan batas bawah dari rentang harga setiap merek rokok.
Pada tahun 2007, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin dan rokok putih ditetapkan antara 20 persen sampai 40 persen, tergantung pada skala produksi. Selain itu, cukai per batang untuk pertama kalinya dikenakan, yang juga bervariasi menurut jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan skala produksi. Pada tahun 2008, cukai ad valorem diturunkan dan cukai spesifik per batang menjadi lebih besar . Cukai per batang menjadi Rp 35 untuk semua jenis rokok dengan pengecualian untuk rokok kretek tangan yang diproduksi pada skala kecil (Rp 30). Sejak tahun 2000, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin dan putih telah seragam; tetapi peraturan yang dikeluarkan pada tahun 2008 memberlakukan kembali pembedaan cukai ad valorem untuk jenis rokok tersebut. Nilai minimum (batas bawah) HJE dinaikkan sebesar 9 persen untuk perusahaan rokok yang berada dalam skala produksi besar , dan bagi skala produksi yang terkecil diturunkan sebesar 15 persen.
Untuk rokok kretek tangan (SKT), terdapat beberapa perbedaan antara peraturan tahun 2007 dengan 2008. Pada jenis rokok ini (SKT), diberikan kategori baru yaitu Sigaret Kretek T angan Filter (SKTF). Jumlah skala produksi untuk SKT dikurangi dari empat menjadi tiga. Skala produksi IIIA dan IIIB digabung menjadi hanya golongan III (lihat T abel 3.1). SKT tanpa filter , tarif ad valoremnya diturunkan. Untuk produsen SKT terkecil, HJE diturunkan sebesar 38 persen dan tarif ad valorem dihilangkan sama sekali. T etapi, tarif ad valorem untuk SKTF diseragamkan dengan tarif SKM. Perubahan yang dianggap paling penting adalah pemberlakuan cukai per batang (cukai spesifik) yang seragam sebesar Rp 35 untuk semua kategori produksi, dengan pengecualian pada tarif SKT yang lebih rendah (Rp 30) bagi perusahaan dengan produksi kurang atau sama dengan 500 juta batang per tahun.
Sama seperti sebelumnya, produk tembakau lain (HTPL) yang diproduksi pada skala kecil dikenakan tarif cukai rendah. Produk ini meliputi rokok klobot, klembak kemenyan, rokok putih tangan (tembakau tanpa campuran), cerutu, dan tembakau iris. Selain itu, terdapat penyesuaian dalam skala produksi untuk rokok jenis lain dan daun tembakau.
Untuk memenuhi target penerimaan cukai, Departemen Keuangan melakukan penyesuaian terhadap tarif cukai ad valorem, cukai per batang, dan cut off point untuk skala produksi perusahaan, serta jumlah perusahaan dengan skala produksi itu. Penghitungan HJE didasarkan pada biaya produksi perusahaan tetapi bisa dimodifikasi secara terpisah dari skala cukai oleh Departemen Keuangan, seperti yang terlihat pada T abel 3.1. Dalam satu tahun komponen-komponen tersebut dapat disesuaikan satu kali atau lebih, atau tidak sama sekali pada produk tembakau atau skala produksi tertentu. T etapi untuk produk rokok linting tangan dan perusahaan berskala kecil secara konsisten terus menikmati tarif cukai yang lebih rendah.
Perubahan tarif ad valorem untuk SKM, SPM, SKT , dan produk tembakau lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.2. Antara tahun 1996 sampai 1999, pemerintah melakukan penyesuaian satu kali setiap tahunnya terhadap penggolongan cukai tembakau, dan penyesuaian lebih dari satu kali dilakukan antara tahun 2000 dan 2001. Sementara untuk SKT dan produk rokok lainnya, tarif ad valorem tidak mengalami perubahan selama tahun 2002 sampai 2007. Namun, penyesuaian tetap dilakukan terhadap HJE. Pada tahun 2001, HJE yang seragam dikenakan pada produk SKM dan SPM untuk seluruh kategori skala produksi, tetapi setelah satu tahun, sistem ini dikembalikan ke sistem lama dengan HJE digolongkan menurut skala produksi.
D. QUOTA EKSPOR DAN IMPOR TEMBAKAU INDONESIA
Dalam kegiatan perdagangan internasional, Indonesia melakukan ekspor dan impor tembakau dan produk -produknya. Selama 2000 -2006 nilai ekspor dan nilai impor keduanya berfluktuasi dengan trend yang meningkat masing-masing 6,82 persen dan 7,64 persen per tahun ( tabel 6). Selama periode tersebut, secara konsisten Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan cukup besar dengak laju kenaikan rata -rata 8,68 persen per tahun. Defisit neraca perdagangan tersebut mengindikasikan bahwa tembakau dan produk tembakau bukan merupakan sumber devisa negara karena impor tembakau sebagai bahan baku industri rokok dan impor produk tembakau (rokok) untuk konsumsi langsung bersifat menguras devisa negara. Pada tahun 2006 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 82,13 juta yang merupakan 796,19 persen dari nilai ekspor (Prajogo, 2008.).
Konsumsi rokok nasional meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta berkembangnya industri rokok. Peningkatan permintaan tembakau domestik sudah tidak dapat dipenuhi lagi dari dengan peningkatan produksi domestik, sehingga sebagian kebutuhan tembakau kita harus dilakukan impor dengan tendensi yang semakin meningkat, meskipun posisi Indonesia saat ini adalah net eksportir (Saptana, 2001).
Berdasarkan Tabel 3 memberikan gambaran sebagai berikut : (1) rata-rata volume ekspor pada periode (1990-2000) mencapai 59.613 ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun tembakau kering mencapai 32.198 ton; (2) perkembangan volume ekspor tembakau meningkat sebesar 1.49 %/tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6.95 %/tahun ; (3) Sementara itu perkembangan dalam nilai ekspor dalam bentuk tembakau sebesar 2.27 % per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5.78%/tahun; (4) rata-rata volume impor tembakau periode (1990-2000) mencapai 38.226 ton per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 34.834 ton per tahun; (5) perkembangan impor tembakau selama periode tersebut meningkat sebesar 3.68 %/tahun dan dalam bentuk daun kering sebesar 2.68 %/tahun;(6) Sementara itu perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk tembakau 8.61 %/tahun dan tembakau daun kering 4.67 %/tahun; (7) Jika di bandingkan dengan perkembangan luas areal, produksi, dan produktivitas tembakau dalam negeri maka Indonesia akan mengalami masalah yang serius, karena disatu sisi menghadapi persaingan global dan disisi lain adanya tuntutan dari lembaga kesehatan dan LSM untuk membatasi produksi rokok; (8) Adanya perkembangan nilai ekspor yang lebih rendah dibandingkan nilai importnya menunjukkan bahwa tembakau Indonesia mengalami penurunan kualitas dan dayasaingnya di pasar dunia (Sudaryanto, 2009).
E. KESIMPULAN
Peran tembakau dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari beberapa indikator seperti perannya dalam penerimaan negara (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Industri tembakau secara luas mencakup sektor bahan baku primer daun tembakau dan cengkeh dan industri pengolahan rokok. Rata-rata volume ekspor pada periode (1990-2000) mencapai 59.613 ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun tembakau kering mencapai 32.198 ton. Perkembangan volume ekspor tembakau meningkat sebesar 1.49 %/tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6.95 %/tahun. Sementara itu perkembangan dalam nilai ekspor dalam bentuk tembakau sebesar 2.27 % per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5.78%/tahun. Rata-rata volume impor tembakau periode (1990-2000) mencapai 38.226 ton per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 34.834 ton per tahun. Perkembangan impor tembakau selama periode tersebut meningkat sebesar 3.68 %/tahun dan dalam bentuk daun kering sebesar 2.68 %/tahun. Sementara itu perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk tembakau 8.61 %/tahun dan tembakau daun kering 4.67 %/tahun. Dengan adanya fenomena ekspor dan impor tembakau pemerintah menetapkan kebijakan – kebijakan berupa pajak, tarif dan kuota ekspor dan impor untuk melindungi pasar domestik. Selain itu juga untuk menjaga serta menstabilkan harga di pasaran dalam negri dan juga mendapat pemasukan untuk negara.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia, dalam angka. CV. Dua Marga Jaya. Jakarta.
Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan A., dan Setyonaluri, D. 2008. Tobacco Economic in Indonesia. Laporan Penelitian. Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Prajogo U. Hadi dan Supena Friyatno. 2008. PERANAN SEKTOR TEMBAKAU DAN INDUSTRI ROKOK DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS TABEL I -O TAHUN 2000. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Rachmat, Muchjidin. 2010. Development of National Tobacco Economy: Developed Country Policy and Lesson Learned for Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Santoso, K., Januar, J., Hartadi, R., Wardhono, A., Rondhi, M. 2009. Tembakau dan Industri Rokok: Kontribusi Terhadap Perekonomian Nasional, Serapan Tenaga Kerja, Perilaku Konsumsi, dan Perspektif Petani. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jember. Jawa Timur.
Saptana, Supena Friyanto dan TRri Bastuti P. 2001. ANALISIS DAYASAING KOMODITI TEMBAKAU RAKYAT DI KLATEN JAWA TENGAH. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sudaryanto, T., Prajogo U. Hadi, S. Friyatna. 2009. “Analisis Prospek Ekonomi Tembakau di Pasar Dunia dan Refleksinya di Indonesia Tahun 2010”. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.
Suryanto, Basuki. 2008. Fungsi Cukai. Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai. Kasubbid Program Pusdiklat Bea dan Cukai.
WHO. 2008. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic. The Manpower Package. World Health Organization.
Subscribe to:
Posts (Atom)