Pages

Search This Blog

Sunday, June 19, 2011

DINAMIKA IMPOR GULA INDONESIA: SEBUAH ANALISIS KEBIJAKAN

OLEH : EKO SUSANTO (0910480053)

Ringkasan
Setelah menjadi salah satu negara eksporter terbesar di dunia tahun 1930-an, Indonesia kini Menjadi salah satu Negara pengimpor gula terbesar di dunia. Jika kecendrungan ini tidak dapat dicegah, keberadaan industri gula sebagai salah satu industri strategis di Indonesia, akan dalam tekanan. Di samping disebabkan oleh distorsi di pasar internasional, kebijakan pemerintah Indonesia dinilai mempunyai konstribusi terhadap kondisi tersebut. Sejalan dengan isu ini, maka tulisan ini akan membahas dinamika impor gula Indonesia dikaitkan dengan kebijakan pergulaan nasional. Hasil diskusi menunjukkan bahwa kebijakan gula di pasar internasional adalah sangat distortif.

Dinamika impor gula Indonesia dapat dikaitkan dengan tiga regim kebijakan. Pertama, regim kebijakan stabilitas (1971-1996) yang membuat industri gula stabil dan berkembang dan volume import relatif kecil dan fluktuatif. Kedua regim perdagangan bebas (1997- 2001) yang membuat penurunan kinerja industri gula dan lonjakan volume impor. Ketiga, regim kebijakan terkendali (2002-sekarang) yang mampu membuat industri gula mengalami proses pemulihan dan impor menurun. Berdasarkan diskusi tersebut, tiga alternatif kebijakan impor, yaitu mempertahankan kebijakan yang diterapkan sekarang, tarif impor 50%, dan tariff-rate quota, diajukan sebagai alternatif kebijakan impor.

PENDAHULUAN

Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al., 1999; Tjokrodirdjo, et al., 1999; Sudana et al., 2000).

Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 60 pabrik gula (PG) yang aktif yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17 PG yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula Indonesia, 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada tahun 1999 adalah sekitar 341057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan.

Pada dekade terakhir, khususnya periode periode 1994-2004, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat, dari 194,700 ton pada tahun 1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan laju 11.4 % per tahun. Pada periode 1994- 2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 % per tahun. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan 1.2 % per tahun produksi gula dalam negeri menurun dengan laju –1.8 per tahun.

Penurunan produksi bersumber dari penurunan areal dan penurunan produktivitas seperti penurunan rendemen dari 10% pada tahun 1970-an menjadi rata-rata hanya 6.92% pada tahun 1990-an (Dewan Gula Indonesia, 1999). Harga gula di pasar internasional ang terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1999 juga menjadi penyebab kemunduran industri gula Indonesia. Penurunan harga gula ini terutama disebabkan oleh kebijakan hampir semua negara produsen utama dan konsumen utama melakukan intervensi yang kuat terhadap industri dan perdagangan gula. Sebagai contoh, hampir semua negara menerapkan tarif impor lebih dari 50%. Di samping itu, kebijakan dukungan harga (price support) dan subsidi ekspor masih dilakukan oleh negara besar seperti Eropa Barat dan Amerika. Hal ini menempatkan pasar gula merupakan pasar dengan tingkat distorsi tertinggi kedua setelah beras (Noble, 1997; Kennedy, 2001; Groombridge, 2001).

Membiarkan impor terus meningkat berarti membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran yang akan menimbulkan masalah bagi Indonesia. Pertama,industri gula melibatkan sekitar 1.4 juta petani dan tenaga kerja (Bakrie dan Susmiadi, 1999). Kedua, kebangkrutan industri gula juga berkaitan dengan aset yang sangat besar dengan nilai sekitar Rp 50 triliun . Ketiga, gula merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap inflasi, sesuatu yang mengkhawatirkan pelaku bisnis, masyarakat umum, dan pemerintah. Lebih jauh, membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48% akan berpengaruh negatif terhadap upaya pencapaian ketahanan pangan (Pakpahan, 2000; Simatupang et al. 2000). Selanjutnya, beban devisa untuk mengimpor akan terus meningkat yang pada lima tahun terakhir rata-rata devisa yang dikeluarkan sudah mencapai US$ 200 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000).
Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai kebjiakan dinamika impor gula Indonesia dikaitkan dengan kebijakan, baik itu kebijakan pergulaan nasional maupun perdagangan di pasar internasional serta alternatif kebijakan yang berkaitan dengan impor gula Indonesia. Untuk itu, maka organisasi tulisan akan disusun sebagai berikut. Setelah Pendahuluan, terlebih dahulu akan dibahas kebijakan perdagangan dan industri pergulaan di pasar internasonal. Selanjutnya bahasan akan difokuskan pada dinamika impor gula Indonesia yang diikuti dengan pembahasan kebijakan pergulaan domestik. Selanjutnya, bahasan akan ditekankan pada alternative kebijakan impor yang memberikan medan persaingan yang adil (fair) bagi industri gula nasional. Selanjutnya, tulisan diakhiri dengan beberapa catatan penutup.

KEBIJAKAN PERGULAAN DI PASAR INTERNASIONAL

Liberalisasi perdagangan yang antara lain tertuang dalam berbagai komitmen pada Putaran Uruguay (PU) dari GATT ternyata tidak banyak berpengaruh pada tingkat distorsi pada perdagangan dan industri gula (Devadoss dan Kropf, 1996; Noble, 1997; Groombridge 2000; Kennedy 2001; LMC, 2003; FAO, 2003). Dengan perkataan lain, industri dan perdagangan gula pada masa mendatang masih akan tetap distortif, tidak banyak tersentuh oleh komitmen liberalisasi perdagangan.

Liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan disahkannya hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) sebagai rangkaian dari General Agreement on Tarif And Trade (GATT) pada tanggal 15 Desember 1993, sebenarnya memberi peluang yang besar untuk mengurangi distorsi perdagangan dan industri pada sektor pertanian, termasuk untuk gula. Salah satu kekhususan putaran ini adalah dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda perundingan. Dengan perkataan lain, keberhasilan Putaran Uruguay (PU) menyebabkan pemberlakuan sektor pertanian sama dengan sektor lainnya atau sektor pertanian tidak lagi diperlakukan secara eksklusif dalam kerangka GATT (Departemen Perdagangan, 1994).

Amerika Serikat secara historis menggunakan berbagai kebijakan untuk mendukung/melindungi industri gulanya. Kebijakan tersebut menyebabkan sekitar 67% dari pendapatan produsen gula di US merupakan komponen dari kebijakan harga subsidi atau price support. Landasan hukum terbaru yang digunakan US untuk mendukung kebijakan tersebut adalah Farm Security and Rural Investment Act of 2002 (2002 Farm Act). Beberapa kebijakan penting yang diterapkan adalah kebijakan bantuan domestic (price support loan), tariff-rate quota, subsidi ekpsor (export subsidy), program re-ekspor (re-export programs), dan kebijakan pembayaran dalam bentuk natura atau payment-inkind. Sebagai contoh, kebijakan tariff-rate quota (TRQ) merupakan suatu kebijakan pengendalian harga domestik dengan instrumen pengendalian impor. Kebijakan TRQ merupakan kebijakan yang sanga efektif untuk mengendalikan harga di dalam negeri karena TRQ merupakan kombinasi antara tarif dan kuota. Kebijakan ini masih diijinkan digunakan dalam kerangka liberalisasi perdagangan. Akibat kebijakan TRQ dan kebijakan lainnya, harga gula di pasar domestik US jauh di atas harga gula dunia. Untuk gula mentah, perbedaan antara harga di pasar internasional dan US rata-rata adalah sekitar US$c 12/lb atau 126%. Sedangkan untuk gula putih, perbedaan mencapai sekitar US$c 13/lb atau sekitar 104% (USDA 2003).

Biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan kebijakan-kebijakan tersebut tidaklah murah. Sebagai contoh, pada tahun 1998 biaya intervensi mencapai US$ 1.9 miliar. Pemerintah harus menyiapkan dana sekitar US$ 1.68 miliar per tahun untuk pembelian gula. Kesejahteraan yang hilang (welfare loss) sebagai akibat kebijakan tersebut diperkirakan mencapai sekitar US$ 1 miliar per tahun (Kennedy, 2001).
Eropa Barat (EC) dikenal sebagai kelompok negara yang tingkat distorsinya paling tinggi. Intervensi yang tinggi tersebut dilakukan hampir pada semua aspek industri dan perdagangan gula. Untuk melindungi tekanan dari pasar internasional, tingkat tarif impor yang tinggi merupakan salah satu instrumen kebijakan yang digunakan. Sebelum Putaran Uruguay ditandatangani, instrumen tariff impor berupa kebijakan variable levies. Dengan perkataan lain, mereka dapat menaikkan tarif impor jika harga gula di pasar internasional turun secara signifikan. Setelah PU ditandatangani, EC menerapkan binding tariff yang relatif masih tinggi yaitu 146% dengan pendekatan fixed tariff.

Kebijakan yang paling distortif yang diterapkan oleh EC identik dengan yang dilakukan di Amerika yaitu subsidi input/kredit dan jaminan harga yang termasuk kelompok bantuan domestik. Kebijakan ini diimplementasikan dengan membagi produksi menjadi tiga kategori yaitu quota A, B, dan C. Untuk quota A yang di pasarkan di pasar domestik, petani menerima harga sesuai dengan harga intervensi (harga subsidi). Untuk quota B, produsen juga menerima harga subsidi, namun dikurangi pajak yang lebih tinggi yaitu 39.5% dibandingkan quota A yang pajaknya 2%. Produksi di atas quota A dan B, produsen menerima harga sesuai dengan harga di pasar internasional .Kebijakan subsidi harga diperkirakan mencapai sekitar 41% dari pendapatan petani. Di sisi lain, konsumen menerima beban sekitar US$ 3.8 miliar per tahun sebagai akibat harga gula domestic yang tinggi (Noble 1997).

India yang dari aspek ekonomi dan demografi memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia melakukan intervensi yang cukup intensif terhadap industri gulanya. Salah satu landasan hukum kebijakan pergulaan di India adalah dimasukannya gula pada Essential Commodities Acts of 1955. Dengan demikian, berbagai kebijakan pergulaan di India mempunyai landasan hukum yang cukup memadai. Kebijakan pergulan di India pada dasarnya ditekankan pada aspek produksi – harga dan distribusi – harga. Kebijakan produksi-harga yang diterapkan di India pada dasarnya mengacu pada konsep harga dasar. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah dengan berbagai lembaga pendukungnya menentukan semacam harga dasar gula untuk PG yang menjadi landasan untuk menentukan harga tebu petani (Pursell dan Gupta, 1997).

DINAMIKA IMPOR GULA DAN KEBIJAKAN PERGULAAN NASIONAL

Meningkatnya Impor
Pada tahun 1930-an, Indonesia pernah menjadi salah satu eksportir gula terbesar di dunia. Kini Indonesia merupakan salah satu importir terbesar (no. 4) di dunia dengan pangsa impor pada sekitar 3,5% dari impor gula dunia. Pada tahun 1994, impor gula Indonesia baru mencapai 4400 ton dan meningkat menjadi sekitar 1.34 juta ton pada tahun 2004 atau meningkat lebih dari 300 kali lipat (Gambar 1). Untuk tahun 2004, sekitar 0.450 juta ton adalah impor untuk gula konsumsi oleh masyarakat, sedangkan sekitar 0.900 ribu juta ton adalah untuk konsumsi gula industri, seperti industri makanan dan minuman.

Penurunan Produksi
Penurunan produksi secara garis besar disebasbkan oleh tiga faktor utama yaitu:
• Penurunan areal dan peningkatan proporsi areal tebu tegalan;
• Penurunan produktivitas lahan;
• Penurunan efisiensi di tingkat pabrik.

Jika dilihat pada sepuluh tahun terakhir, luas areal tebu Indonesia secara umum mengalami penurunan sekitar 2% per tahun dengan luas areal tertinggi dicapai tahun 1996 dengan luasan 446 ribu ha, walaupun pada tahun 2004 mulai menunjukkan peningkatan. Di samping itu, areal tebu sawah cenderung menurun dan areal tebu tegalan cendrung meningkat. Bias kebijakan pemerintah ke usahatani padi, harga gula yang terus menurun karena distrosi kebijakan gula di pasar internasional, serta konversi lahan untuk industri perumahan dan industri (23.000 ha/tahun) merupakan beberapa faktor penyebab penurunan areal tebu (Woeryanto, 2000; Husodo, 2000; Murdiyatmo, 2000; Pakpahan, 2000 Sumaryanto et al., 1995).

Di samping penurunan areal, penurunan produktivitas merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Jika pada tahun 1990-an produktivitas tebu/ha rata-rata mencapai 76.9/ha, maka pada tahun 2000-an hanya mencapai sekitar 62.7 ton/ha. Rendemen sebagai salah indikator produktivitas juga mengalami penurunan dengan laju sekitar –1.3% per tahun pada dekade terakhir. Pada tahun 1998, rendemen mencapai titik terendah (5.49%). Selanjutnya, rendemen mulai meningkat dan pada tahun 2004 rendemen mencapai 7.67 % (Hadi dan Sutrisno, 2001). Seperti terlihat pada Gambar 2., produktivitas rendah yang berpangkal dari belum optimalnya sistem budidaya yang digunakan yang disebabkan oleh (i) kualitas bahan tanam yang kurang; (ii) sistem bagi hasil antara petani dan PG; (iii) harga yang rendah khususnya pada dekade terakhir; dan (iv) kebijakan pemerintah yang kurang mendukung.
Masalah kedua adalah bahwa kebanyakan petani tidak melakukan peremajaan secara berkala sehingga tanaman mereka umumnya tanaman keprasan, bahkan keprasan tiga atau lebih. Dengan demikian, potensi produktivitas hanya mencapai sekitar 67%- 85% dari tanaman pertama atau PC (Marjayanti dan Arsana, 1999). Berdasarkan data dari beberapa sumber, Marjayanti dan Arsana 1999) memperkirakan tanaman keprasan di Jawa lebih dari 50%.

Masih adanya masalah yang berkaitan dengan sistem bagi hasil antara PG dengan petani juga tidak mendukung upaya peningkatan produktivitas. Sistem yang berlaku sekarang yaitu 65% dari total produksi adalah gula bagian petani dan 35% adalah bagian PG sebagai upah pengolahan masih sering menimbulkan perdebatan. Bagi petani, bagian mereka seyogyanya bisa lebih tinggi bila proses pengolahan di PG berjalan efisien dan kapasitas giling cukup memadai (Husodo 2000).

Harga gula yang rendah dan fluktuatif seperti diuraikan sebelumnya juga menurunkan produktivitas tebu, khususnya tebu rakyat. Walaupun respon produktivitas terhadap harga inelastis, menurunnya harga gula akan menyebabkan penurunan produktivitas (Susila dan Susmiadi, 2000; Abidin, 2000). Harga yang rendah menyebabkan petani tidak optimal dalam menerapkan teknis budidaya, khususnya yang memerlukan uang kas, sehingga akan berdampak negatif terhadap produktivitas (Murdiyatmo, 2000; Woeryanto, 2000; Adisasmito, 1998).

Kebijakan pemerintah yang bias ke usahatani padi, pencabutan subsidi pupuk, dan sering terjadi kesulitan dalam mengimplementasikan jaminan harga (harga provenue) juga berdampak negatif terhadap produktivitas tebu. Pencabutan subsidi yang membuat biaya produksi meningkat dan tidak adanya jaminan harga akan menyebabkan penerapan teknik budidaya menjadi tidak optimal sehingga menurunkan produksitivias (Soentoro et al.,1999; Mardiyatmo 2000; Susila dan Susmiadi, 2000).

Kontribusi penurunan rendemen sebagai akibat inefisiensi di tingkat PG, yang dapat mencapai 30%, dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi pabrik gula, terutama yang ada di Jawa, umumnya sudah tua, sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal (Woeryanto, 2000; Murdiyatmo, 2000; Husodo 2000;). Faktor kedua adalah keterbatasan ketersediaan jumlah bahan baku sehingga pabrik beroperasi di bawah kapasitas optimal. Penurunan areal tebu menyebabkan ketersediaan bahan baku semakin terbatas sehingga PG sering mengalami kesulitan untuk mencapai kapasitas minimum. Dalam sepuluh tahun terakhir, dari 59 pabrik gula di Jawa, 17 perusahaan memiliki total hari penggilingan di bawah standar nasional yaitu 150 hari giling per tahun. Dengan kriteria minimum kapasitas giling 2000 ton tebu per hari, sebanyak 28 pabrik tidak memenuhi tandar tersebut (Arifin, 2000).

Peningkatan Konsumsi
Ketika produksi terus mengalami penurunan, konsumsi domestik baik oleh rumah tangga maupu indistri terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1984, konsumsi gula domestik baru mencapai 1.866 juta ton. Pada tahun 2004, konsumsi melonjak menjadi 3.4 juta ton atau mengalami peningkatan sekitar 0.5% per tahun. Peningkatan konsumsi terutama berkaitan dengan dua faktor yaitu pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan atau pertumbuhan ekonomi. Studi oleh Susila (2005) menyebutkan bahwa karena gula masih merupakan kebutuhan pokok, maka respon konsumsi terhadap perubahan harga gula dan PDB adalah inelastis, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai contoh, elastisitas jangka panjang terhadap perubahan harga eceran dan PDB masing-masing adalah –0.18 dan 0.11. Namun demikian, konsumsi gula elastis terhadap perubahan jumlah penduduk, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Regim Pengendalian Impor
Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah diambang kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani) semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar. Era ini merupakan era dimulainya regim pengendalian impor. Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkat harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen.

Kebijakan tataniaga gula tersebut dinilai masih memiliki beberapa kelemahan seperti belum jelas spesifikasi mutu gula, waktu impor, dan jaminan harga untuk petani. Untuk itu, pemerintah menyempurnakan kebijakan tersebut dengan Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/M-DAG/Per/4/2005. Esensi kebijakan adalah ketentuan ICUMSA yang secara nyata membedakan gula kristal putih, gula rafinasi, dan raw sugar; kejelasan waktu dan pelabuhan impor, serta kenaikan harga referensi di tingkat petanui menjadi Rp 3800/kg. Jika kebijakan ini diikuti oleh perbaikan efisiensi di tingkat usahatani dan PG, kebijakan ini diperkirakan akan efektif untuk mendorong perkembangan industri gula nasional.

Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan kembali industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga gula di pasar internasional juga turut menolong industri gula nasional. Dari sisi areal, dampaknya mulai tampak dan pada tahun 2005 areal diperkirakan mulai meningkat secara signifikan. Produksi mulai meningkat dan mulai tahun 2004 produksi sudah kembali diatas 2 juta ton. Sebagai akibatnya, impor mulai menurun datri sekitar 1.5 juta ton menjadi sekitar 1.3 juta ton. Jika kebijakan-kebijakan ini dipertahankan dan didukung oleh program revitalisasi pembangunan industri gula nasional, Indonesia dapat berharap mencapai swasembada gula pada tahun 2010 (proporsi impor adalah sekitar 90% dari konsumsi nasional). Paling tidak, kebijakan-kebijakan tersebut akan memberi landasan yang memadai untuk kebangkitan industri gula nasional.

PILIHAN KEBIJAKAN IMPOR GULA INDONESIA
Dengan memperhatikan distorsi pasar internasional yang demikian tinggi, maka kebijakan impor gula Indonesia seyogyanya dilandasi pemikiran untuk memberikan medan persaingan yang fair bagi Industri gula nasional, bukan memberikan perlindungan terhadap industri gula nasional. Dengan kata lain, landasan dari kebijakan impor adalah tugas pemerintah untuk mengoreksi kegagalan pasar (market failure) sehingga Industri gula nasional dapat bersaing secara fair. Dengan landasan pemikiran tersebut, maka ada tiga pilihan kebijakan impor yang potensial untuk diterapkan yaitu (i) mempertahankan kebijakan yang ada sekarang (existing policies); (ii) menaikkan tarif impor gula; (iii) kombinasi kebijakan harga jaminan – tariff rate quota;

Mempertahankan Kebijakan yang Sekarang Diterapkan
Mempertahankan kebijakan yang ada sekarang berarti melanjutkan kebijakan yang dilandasi oleh Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/M-DAG/Per/4/2005. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan ini sudah cukup menciptakan medan persaingan yang fair bagi industri gula nasional. Dengan tingkat tarif Rp 550/kg untuk raw sugar dan Rp 790/kg untuk white sugar dikombinasikan dengan pengaturan volume impor dan harga jaminan/referen, industri gula Indonesia dinilai mendapat perlakuan yang cukup fair. Tingkat intervensi tersebut jelas dibawah yang dilakukan oleh Eropa Barat dan Amerika, namun sudah cukup berimbang dengan yang dilakukan oleh Thailand ataupun Brazil.

Meningkatkan Tarif Impor (50%)
Meningkatkan tarif impor dapat menjadi pilihan lain untuk menciptakan medan persaingan yang fair bagi Industri gula nasional. Dengan mempertimbangkan binding tariff Indonesia, tingkat tarif impor di negara lain, serta kepentingan harga di tingkat konsumen dan produsen, hasil analisis menunjukkan bahwa tarif impor sampai dengan 50% merupakan pilihan yang cukup kompromistis. Kelebihan kebijakan ini adalah memperkecil peluang terjadinya praktek oligopoli atau kartel karena jumlah importer gula menjadi terbuka, tidak terbatas pada empat perusahaan. Dengan perkataan lain, kebijakan ini menciptakan prilaku importir yang lebih kompetitif. Di samping itu, kebijakan ini akan membuat penerimaan pajak impor untuk negara menjadi meningkat. Satu kelemahan mendasar dari kebijakan ini adalah tingkat efektivitasnya yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kebijakan yang diterapkan sekarang. Karena hanya bersifat kebijakan tunggal, kebijakan ini memiliki efektivitas kebijakan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kebijakan yang kini diterapkan. Hal ini disebabkan tidak ada yang menjamin harga gula di tingkat petani yang membuat petani kembali meghadapi ketidak-pastian harga. Sebagai ilustrasi, kebijakan ini diperkirakan hanya memacu pertumbuhan produksi sekitar 4% per tahun.

DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, K. 1998. Sistem Kelembagaan Sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Bulletin Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, (148):59-85.
Departemen Perdagangan. 1994. Implikasi Kesepakatan GATT Terhadap Sektor Pertanian Indonesia. Departemen Perdagangan, Jakarta. Devadoss, S dan J. Kropf, 1996. Impacts Of Trade Liberalizations Under The Uruguay Round On The World Sugar Market. Agricultutal Economics, (15): 83-96
Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia, Jakarta.
Elbehri, A., T. Hertel, M. Ingco, K. R. Pearson. 2000. Partial Liberalization Of The World Sugar Market: A General Equilibrium Analysis Or Tarif-Rate Quota Regimes. Makalah disajikan pada Third Annual Conference on Global Economics Analysis, Melbourne, Australia, 27-30 Juni 2003.
FAO. 2003. Important Commodities In Agricultural Trade. FAO Support to the WTO Negotiations, FAO, Rome.
Groombridge, M. A. 2001. America’s Bittersweet Sugar Policy. Trade Briefing Paper. Center for Trade Policy Study, CATO Institute, Washington DC.
Kennedy, P. L. 2001. Sugar Policy. Louisiana State University, Louisiana. Licht, F. O. 1995. The world sugar market in 1994/95’ World Sugar Statisticts, A3-A21.
LMC. 2003. LMC International Documents Wide Range Of Subsidies Among World’s Major Sugar Countries. American Sugar Alliance, January 2003.
Noble, J. 1997. The European Sugar Policy to 2001. World Sugar and Sweetener Yearbook 1996/1997, D13-DA21.
Pursell, G. and A. Gupta. 1997. Trade Policies And Incentives In Indian Agriculture. Development Research Group, the World Bank., New Delhi.
Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000. Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.
Susila, W.R. 2005. Pengengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan sistem Produksi. Desertasi S3. Institut Pertanian Bogor
Susmiadi, A. 1998. Krisis Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap Industri Gula Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada Produksi Gula 1998, Pasuruan, 10 Desember 1998.
USDA. 2002. Sugar: World Markets And Trade. Circular Series, FS 2-02, November 2002, United State Department of Agriculture, Washington DC.

0 comments:

Post a Comment