Pages

Search This Blog

Saturday, June 18, 2011

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK, TARIF DAN KUOTA EKSPOR DAN IMPOR TEMBAKAU INDONESIA

OLEH : DWI WAHYU SULISTYO UTOMO (0910480050)

A. PENDAHULUAN
Peran tembakau dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari beberapa indikator seperti perannya dalam penerimaan negara (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Industri tembakau secara luas mencakup sektor bahan baku primer daun tembakau dan cengkeh dan industri pengolahan rokok. Berdasarkan hasil analisa Input-Output tahun 2005 industri tembakau memberikan kontribusi 1,66 persen terhadap total PDB nasional. Kontribusi terbesar berasal dari Industri rokok sebesar 1,56 persen, sedangkan sektor bahan baku tembakau dan cengkeh hanya berkontribusi masing masing sebesar 0,036 persen dan 0,067 persen. Namun demikian industri rokok merupakan salah satu industri pertanian (agroindustri) yang menonjol di Indonesia (Rachmat, 2010). Terhadap Agroindustri tersebut peran industri rokok mencapai 13,13 persen (Tabel 1).



Peran bahan baku primer tembakau dan cengkeh terhadap total perkebunan dan pertanian relatif kecil. Nilai produksi usahatani tembakau dan cengkeh terhadap nilai produk perkebunan masing-masing sebedar 1,54 persen dan 2,83 persen; sementara terhadap nilai produk pertanian masing-masing hanya 0,27 persen dan 0,49 persen (Tabel 2). Kondisi ini sejalan dengan kecilnya peran areal pertanaman dan jumlah petani tembakau di Indonesia. Dalam tahun 2007 luas areal tembakau mencapai 198 ribu hektar (sekitar 0,9% total areal perkebunan Indonesia), sementara jumlah petani yang terlibat dalam usahatani tembakau hanya 554,5 ribu rumah tangga petani atau sekitar 8,0 persen dibandingkan dengan rumah tangga petani pekebun sebesar 6880 ribu RT, atau hanya 2,1 persen dari total rumah tangga pertanian sebesar 25 579 ribu RT (BPS, 2008).



Dalam peranannya terhadap lapangan kerja, secara keseluruhan industri tembakau menyerap tenaga kerja pada industri tembakau sekitar 4,154 juta tenaga kerja, dimana 93,77 persen diserap pada kegiatan usahatani termasuk pasca panen, sedangkan tenaga kerja di sektor pengolahan rokok hanya menyerap sekitar 6,23 persen (Tabel 3).



Hasil studi Santoso et al. (2009) menunjukkan bahwa nilai pengganda pendapatan sektor industri rokok memiliki nilai terkecil kedua dibandingkan dengan pengganda agroindustri lainnya. Nilai pengganda sebesar 0,127 menunjukkan kondisi bahwa apabila terjadi kenaikan output pertanian sebesar Rp 1 juta akan menyebabkan kenaikan pendapatan sektor perekonomian sebesar Rp 127 juta. Kondisi ini karena industri rokok merupakan industri tunggal yang tidak keterkaitannya kecil. Selanjutnya hasil kajian Sudaryanto et al. (2009) dalam perekonomian nasional, peranan agribisnis tembakau dan industri rokok dalam penciptaan nilai output, nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja kurang signifikan, namun kedua sektor tersebut mempunyai angka pengganda (multiplier effect) output. Angka pengganda untuk tenaga kerja agribisnis tembakau lebih besar daripada industri rokok. Hal ini terjadi karena dalam perdagangan internasional, komoditas tembakau dan rokok lebih banyak menguras dari pada menghasilkan devisa negara, sedangkan agribisnis tembakau mampu menarik sektor hulu dan mendorong sektor hilir untuk berkembang, sementara industri rokok hanya mampu mendorong sektor hilir saja (Rachmat, 2010).

B. PAJAK TEMBAKAU INDONESIA

Berdasarkan pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, bahwa yang dimaksud dengan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang yang befungsi untuk menjamin peningkatan penerimaan negara, sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan peningkatan pembiayaan pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan (Suryanto, 2008).



Peran komoditas tembakau yang cukup nyata dalam perekonomian nasional adalah sebagai sumber penerimaan negara dari cukai. Nilai penerimaan dari cukai yang dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu dari Rp 11,1 triliun pada tahun 2001 menjadi sekitar Rp 47,0 triliun pada tahun 2008, suatu peningkatan rata rata 53 persen per tahun (Tabel 4). Penerimaan nilai cukai sebesar 47 triliun pada tahun 2008 merupakan nilai satu persen dari penerimaan total negara. Peningkatan cukai tembakau tersebut terutama karena kebijakan peningkatan harga jual eceran rokok tarif cukai hasil tembakau, sementara produksi rokok memperlihatkan kecenderungan menurun (Rachmat, 2010).



Indonesia saat ini menerapkan dua jenis sistem cukai tembakau yakni ad valorem (berdasarkan nilai - value) dan cukai spesifik (menurut kuantitas). Kedua sistem tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan dalam upaya meningkatkan penerimaan negara, administrasi dan promosi peningkatan harga.

Sistem cukai spesifik memiliki kelebihan dalam konteks meningkatkan penerimaan negara karena cukai tersebut bertujuan untuk melindungi penerimaan negara dari perang harga atau penurunan harga. Cukai spesifik dapat menjadi acuan untuk memperkirakan penerimaan negara apabila jumlah pembelian suatu produk didasarkan atas tinggi rendahnya kualitas produk. Sistem cukai spesifik juga memberikan insentif untuk meningkatkan harga rokok karena setiap kenaikan harga akan kembali kepada perusahaan dalam bentuk penerimaan. Sebaliknya, cukai ad valorem memiliki efek pengganda (multiplier effect). Cukai ini dikenakan pada nilai produk, sehingga apabila ada kenaikan harga, maka sebagian harga tersebut (yang dikenai tarif ad valorem) akan kembali kepada pemerintah dalam bentuk penerimaan cukai. Pada saat yang sama, setiap penurunan harga akan disubsidi secara efektif oleh pemerintah. Sistem ini tidak menjamin bahwa pemerintah mendapat penerimaan yang tinggi karena cukai ad valorem dipengaruhi oleh inflasi dan perang arga. Efek pengganda dari cukai ad valorem ini juga menurunkan insentif bagi perusahaan untuk memperbaiki kualitas produknya, dan hanya akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga. Sebaliknya, cukai spesifik berpeluang meningkatkan konsumsi rokok merek berkualitas tinggi.

Penetapan pajak/ cukai umumnya dalam bentuk pajak penjualan ad valorem sebagaimana juga diterapkan di Indonesia. Cukai ad valorem memberikan proteksi yang lebih besar kepada produsen dalam negeri yang memproduksi rokok yang relatif “murah” (kualitas “rendah”). Tetapi ketika terdapat perbedaan kualitas yang cukup besar antara produk dalam negeri dan produk impor , cukai impor dapat diterapkan pada produk impor untuk menekan efek dari dampak negatif cukai spesifik terhadap penurunan harga atau kualitas produksi domestik. Ketika bea masuk diterapkan untuk proteksi industri, cukai spesifik dapat dikenakan pada produk domestik dan produk impor .
Rataan dunia pajak rokok sebesar 41,81 persen dari harga rokok dengan kisaran antara 2 persen sampai 84 persen dari harga rokok (Tabel 7). Pajak/cukai rokok terendah (2%) dijumpai di Benin, S. Vincent dan Libia; sedangkan negara dengan pajak rokok tertinggi (84%) dijumpai di negara Niue, kawasan Pasifik Barat. Secara umum kawasan dengan pajak rokok tertinggi terjadi di Asia Tenggara dengan dipelopori oleh Thailand yang menerapkan pajak rokok sebesar 79 persen dari harga rokok. Indonesia menerapkan pajak rokok sebesar 22,0 persen, relatif rendah dibandingkan dengan rata rata dunia. Di kawasan Asia tenggara pajak rokok di Indonesia paling rendah, sebaliknya Thailand menerapkan pajak rokok yang tinggi untuk melindungi rakyatnya (Rachmat, 2010).



Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai sangat tinggi dan terealisasi dengan baik. Departemen keuangan sudah bekerja dengan baik sehingga dana tersebut mendapatkan angka yang baik. Namun, tanpa disadari oleh pemerintah kebijakan tersebut dapat menyulitkan Industri Hasil Tembakau untuk bertahan bahkan memancing tidakan kriminal oleh oknum tak bertanggungjawab.
Kerugian negara dari tindak pidana terkait pita cukai palsu yang ditangani Ditjen Bea dan Cukai selama 2009 mencapai sekitar Rp. 1,5 triliun. Kerugian tersebut adalah dari penggerebekan percetakan pita cukai palsu yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Peredaran pita cukai palsu tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun dengan melihat tabel di bawah ini. Apabila dilihat dari cara memproduksi pita cukai tersebut adalah dengan menjalankan kegiatan pita cukai palsu secara tertutup dengan kedok kegiatan penjualan.



Disini Departemen Perindustrian dan Perdagangan lebih berperan dalam menjaga kestabilan penerimaan negara dalam hal cukai hasil tembakau. Dapat dilihat pada Tabel 5 di atas bahwa proses law enforcement begitu gencar dilakukan oleh Dirjend Bea dan Cukai bersinergi dengan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) dalam melakukan pengawasan pita cukai palsu tersebut.

C.TARIF TEMBAKAU INDONESIA

Produk tembakau di Indonesia telah dikenai cukai sejak awal tahun 1900-an. Pada tahun 1932, tingkat cukai diberlakukan seragam untuk semua produk tembakau (20 persen). Sejak tahun 1936, sistem cukai rokok progresif mulai diberlakukan berdasarkan jenis produk, yaitu rokok kretek tangan (tembakau dan rokok kretek), klobot (rokok kretek yang dibungkus daun jagung), klembak kemenyan (rokok kretek yang diberikan kemenyan), dan rokok putih (tembakau tanpa campuran). Tarif cukai yang berbeda untuk rokok kretek tangan dan rokok kretek mesin dikenakan setelah mekanisasi industri rokok. Pada tahun 1970-an, sistem cukai tersebut dimodifikasi berdasarkan volume produksi dan jenis produk dimana tarif cukai tertinggi dikenakan pada perusahaan dengan skala produksi terbesar. Struktur cukai tembakau terus berlanjut berdasarkan jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan tingkat produksi perusahaan yang diukur melalui jumlah pemesanan pita cukai.



Penerapan cukai tembakau pada masa pasca reformasi atau dapat disebut pada saat sekarang ini ditetapkan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal yang mengatur tentang cukai tembakau adalah terdapat pada Pasal 5, yang menyebutkan bahwa :
Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi :

a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
• 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
• 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.

b. Untuk yang diimpor :
• 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
• 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Penetapan tarif cukai tembakau pada peraturan ini ditetapkan berdasarkan Harga Jual Eceran (HJE).


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 89/KMK.05/2000

HJE atau Harga Jual Eceran menunjukkan harga pabrik yang didalamnya memasukkan komponen biaya produksi, keuntungan produsen dan distributor , dan cukai. Berdasarkan formulir dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, setiap perusahaan melaporkan biaya seluruh bahan baku dan biaya produksi (tembakau, cengkeh, kertas, transportasi, bungkus, kemasan, dll) untuk setiap jenis merek rokok yang diproduksi, agar dapat diketahui harga dasarnya (Lampiran 3.1). Cukai ad valorem, pajak pertambahan nilai (PPN - VAT), dan cukai spesifik dikenakan pada harga dasar . Untuk PPN dikenakan tarif tetap (flat rate) sebesar 8,4 persen. Perusahaan kemudian menambahkan laba perusahaan (untuk para distributor , agen, dan pengecer) dan biaya produksi untuk menghitung HJE setiap jenis merek rokok. Berdasarkan hasil diskusi informal dalam penulisan laporan ini, laba dan biaya transaksi dimasukan dalam perhitungan HJE sebelum cukai ditetapkan. HJE dalam tabel berikut merupakan harga minimum karena nilainya merupakan batas bawah dari rentang harga setiap merek rokok.



Pada tahun 2007, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin dan rokok putih ditetapkan antara 20 persen sampai 40 persen, tergantung pada skala produksi. Selain itu, cukai per batang untuk pertama kalinya dikenakan, yang juga bervariasi menurut jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan skala produksi. Pada tahun 2008, cukai ad valorem diturunkan dan cukai spesifik per batang menjadi lebih besar . Cukai per batang menjadi Rp 35 untuk semua jenis rokok dengan pengecualian untuk rokok kretek tangan yang diproduksi pada skala kecil (Rp 30). Sejak tahun 2000, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin dan putih telah seragam; tetapi peraturan yang dikeluarkan pada tahun 2008 memberlakukan kembali pembedaan cukai ad valorem untuk jenis rokok tersebut. Nilai minimum (batas bawah) HJE dinaikkan sebesar 9 persen untuk perusahaan rokok yang berada dalam skala produksi besar , dan bagi skala produksi yang terkecil diturunkan sebesar 15 persen.

Untuk rokok kretek tangan (SKT), terdapat beberapa perbedaan antara peraturan tahun 2007 dengan 2008. Pada jenis rokok ini (SKT), diberikan kategori baru yaitu Sigaret Kretek T angan Filter (SKTF). Jumlah skala produksi untuk SKT dikurangi dari empat menjadi tiga. Skala produksi IIIA dan IIIB digabung menjadi hanya golongan III (lihat T abel 3.1). SKT tanpa filter , tarif ad valoremnya diturunkan. Untuk produsen SKT terkecil, HJE diturunkan sebesar 38 persen dan tarif ad valorem dihilangkan sama sekali. T etapi, tarif ad valorem untuk SKTF diseragamkan dengan tarif SKM. Perubahan yang dianggap paling penting adalah pemberlakuan cukai per batang (cukai spesifik) yang seragam sebesar Rp 35 untuk semua kategori produksi, dengan pengecualian pada tarif SKT yang lebih rendah (Rp 30) bagi perusahaan dengan produksi kurang atau sama dengan 500 juta batang per tahun.



Sama seperti sebelumnya, produk tembakau lain (HTPL) yang diproduksi pada skala kecil dikenakan tarif cukai rendah. Produk ini meliputi rokok klobot, klembak kemenyan, rokok putih tangan (tembakau tanpa campuran), cerutu, dan tembakau iris. Selain itu, terdapat penyesuaian dalam skala produksi untuk rokok jenis lain dan daun tembakau.

Untuk memenuhi target penerimaan cukai, Departemen Keuangan melakukan penyesuaian terhadap tarif cukai ad valorem, cukai per batang, dan cut off point untuk skala produksi perusahaan, serta jumlah perusahaan dengan skala produksi itu. Penghitungan HJE didasarkan pada biaya produksi perusahaan tetapi bisa dimodifikasi secara terpisah dari skala cukai oleh Departemen Keuangan, seperti yang terlihat pada T abel 3.1. Dalam satu tahun komponen-komponen tersebut dapat disesuaikan satu kali atau lebih, atau tidak sama sekali pada produk tembakau atau skala produksi tertentu. T etapi untuk produk rokok linting tangan dan perusahaan berskala kecil secara konsisten terus menikmati tarif cukai yang lebih rendah.



Perubahan tarif ad valorem untuk SKM, SPM, SKT , dan produk tembakau lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.2. Antara tahun 1996 sampai 1999, pemerintah melakukan penyesuaian satu kali setiap tahunnya terhadap penggolongan cukai tembakau, dan penyesuaian lebih dari satu kali dilakukan antara tahun 2000 dan 2001. Sementara untuk SKT dan produk rokok lainnya, tarif ad valorem tidak mengalami perubahan selama tahun 2002 sampai 2007. Namun, penyesuaian tetap dilakukan terhadap HJE. Pada tahun 2001, HJE yang seragam dikenakan pada produk SKM dan SPM untuk seluruh kategori skala produksi, tetapi setelah satu tahun, sistem ini dikembalikan ke sistem lama dengan HJE digolongkan menurut skala produksi.

D. QUOTA EKSPOR DAN IMPOR TEMBAKAU INDONESIA



Dalam kegiatan perdagangan internasional, Indonesia melakukan ekspor dan impor tembakau dan produk -produknya. Selama 2000 -2006 nilai ekspor dan nilai impor keduanya berfluktuasi dengan trend yang meningkat masing-masing 6,82 persen dan 7,64 persen per tahun ( tabel 6). Selama periode tersebut, secara konsisten Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan cukup besar dengak laju kenaikan rata -rata 8,68 persen per tahun. Defisit neraca perdagangan tersebut mengindikasikan bahwa tembakau dan produk tembakau bukan merupakan sumber devisa negara karena impor tembakau sebagai bahan baku industri rokok dan impor produk tembakau (rokok) untuk konsumsi langsung bersifat menguras devisa negara. Pada tahun 2006 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 82,13 juta yang merupakan 796,19 persen dari nilai ekspor (Prajogo, 2008.).



Konsumsi rokok nasional meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta berkembangnya industri rokok. Peningkatan permintaan tembakau domestik sudah tidak dapat dipenuhi lagi dari dengan peningkatan produksi domestik, sehingga sebagian kebutuhan tembakau kita harus dilakukan impor dengan tendensi yang semakin meningkat, meskipun posisi Indonesia saat ini adalah net eksportir (Saptana, 2001).



Berdasarkan Tabel 3 memberikan gambaran sebagai berikut : (1) rata-rata volume ekspor pada periode (1990-2000) mencapai 59.613 ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun tembakau kering mencapai 32.198 ton; (2) perkembangan volume ekspor tembakau meningkat sebesar 1.49 %/tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6.95 %/tahun ; (3) Sementara itu perkembangan dalam nilai ekspor dalam bentuk tembakau sebesar 2.27 % per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5.78%/tahun; (4) rata-rata volume impor tembakau periode (1990-2000) mencapai 38.226 ton per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 34.834 ton per tahun; (5) perkembangan impor tembakau selama periode tersebut meningkat sebesar 3.68 %/tahun dan dalam bentuk daun kering sebesar 2.68 %/tahun;(6) Sementara itu perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk tembakau 8.61 %/tahun dan tembakau daun kering 4.67 %/tahun; (7) Jika di bandingkan dengan perkembangan luas areal, produksi, dan produktivitas tembakau dalam negeri maka Indonesia akan mengalami masalah yang serius, karena disatu sisi menghadapi persaingan global dan disisi lain adanya tuntutan dari lembaga kesehatan dan LSM untuk membatasi produksi rokok; (8) Adanya perkembangan nilai ekspor yang lebih rendah dibandingkan nilai importnya menunjukkan bahwa tembakau Indonesia mengalami penurunan kualitas dan dayasaingnya di pasar dunia (Sudaryanto, 2009).



E. KESIMPULAN

Peran tembakau dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari beberapa indikator seperti perannya dalam penerimaan negara (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Industri tembakau secara luas mencakup sektor bahan baku primer daun tembakau dan cengkeh dan industri pengolahan rokok. Rata-rata volume ekspor pada periode (1990-2000) mencapai 59.613 ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun tembakau kering mencapai 32.198 ton. Perkembangan volume ekspor tembakau meningkat sebesar 1.49 %/tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6.95 %/tahun. Sementara itu perkembangan dalam nilai ekspor dalam bentuk tembakau sebesar 2.27 % per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5.78%/tahun. Rata-rata volume impor tembakau periode (1990-2000) mencapai 38.226 ton per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 34.834 ton per tahun. Perkembangan impor tembakau selama periode tersebut meningkat sebesar 3.68 %/tahun dan dalam bentuk daun kering sebesar 2.68 %/tahun. Sementara itu perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk tembakau 8.61 %/tahun dan tembakau daun kering 4.67 %/tahun. Dengan adanya fenomena ekspor dan impor tembakau pemerintah menetapkan kebijakan – kebijakan berupa pajak, tarif dan kuota ekspor dan impor untuk melindungi pasar domestik. Selain itu juga untuk menjaga serta menstabilkan harga di pasaran dalam negri dan juga mendapat pemasukan untuk negara.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia, dalam angka. CV. Dua Marga Jaya. Jakarta.
Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan A., dan Setyonaluri, D. 2008. Tobacco Economic in Indonesia. Laporan Penelitian. Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Prajogo U. Hadi dan Supena Friyatno. 2008. PERANAN SEKTOR TEMBAKAU DAN INDUSTRI ROKOK DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS TABEL I -O TAHUN 2000. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Rachmat, Muchjidin. 2010. Development of National Tobacco Economy: Developed Country Policy and Lesson Learned for Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Santoso, K., Januar, J., Hartadi, R., Wardhono, A., Rondhi, M. 2009. Tembakau dan Industri Rokok: Kontribusi Terhadap Perekonomian Nasional, Serapan Tenaga Kerja, Perilaku Konsumsi, dan Perspektif Petani. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jember. Jawa Timur.
Saptana, Supena Friyanto dan TRri Bastuti P. 2001. ANALISIS DAYASAING KOMODITI TEMBAKAU RAKYAT DI KLATEN JAWA TENGAH. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sudaryanto, T., Prajogo U. Hadi, S. Friyatna. 2009. “Analisis Prospek Ekonomi Tembakau di Pasar Dunia dan Refleksinya di Indonesia Tahun 2010”. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.
Suryanto, Basuki. 2008. Fungsi Cukai. Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai. Kasubbid Program Pusdiklat Bea dan Cukai.
WHO. 2008. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic. The Manpower Package. World Health Organization.

0 comments:

Post a Comment